Meraba Ancaman Sistemik dari Gagal Bayar Asuransi Jiwasraya

123rf/Igor Sapozhkov
Ilustrasi. Meraba Ancaman Sistemik dari Gagal Bayar Asuransi Jiwasraya
Penulis: Muchamad Nafi
10/1/2020, 19.43 WIB

Ada yang mengusik Sri Mulyani Indrawati dari konferensi pers Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung, Rabu kemarin. Di kantornya, Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyatakan persoalan yang membelit PT Asuransi Jiwasraya memiliki risiko sistemik karena masalahnya sangat besar.

Potensi sistemik menjadi tanda tanya bagi Menteri Keuangan. Kepada juru warta, Sri Mulyani berusaha benar menahan untuk menyampaikan penilaiannya atas masalah gagal bayar perusahaan pelat merah tersebut. “Nanti bicara dulu sama BPK mengenai hasil audit beliau,” kata Sri Mulyani di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (9/1/2020).

Sebagai Menteri Keuangan, jabatan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melekat kepadanya. KSSK merupakan forum tertinggi stabilitas keuangan Indonesia. Sejauh ini, yang kerap didengar oleh publik terkait Komite bisanya menyangkut industri perbankan. Dalam hal ini untuk menentukan apakah satu bank gagal bisa tergolong sistemik atau tidak sistemik.

“Kalau dampak sistemik dari KSSK, kita akan kembangkan sesuai beberapa hal yang selama ini sudah develop,” ujar Sri Mulyani. “Kalau kerugian dan kejahatan, beliau (BPK) bersama Kejaksaan Agung sudah sampaikan ke saya, update mengenai investigasi mereka.”

Sehari sebelumnya, Agung menyatakan masalah menahun yang membelenggu Jiwasraya begitu serius. Untuk mengukur risiko sistemiknya tak bisa hanya dilihat dari nilai aset perusahaan. “Kasus ini cukup besar, bahkan gigantik, sehingga memiliki risiko sistemik,” kata Agung.

(Baca: Sri Mulyani Penasaran BPK Sebut Kasus Jiwasraya Berdampak Sistemik)

Walau tidak menjelaskan lebih gamblang aspek-aspek yang membuat kemelut di Jiwasraya berpotensi sistemik, Agung menyitir kasus Bank Century -kemudian berubah menjadi Bank Mutiara dan kini Bank J Trust Indonesia. Pada 2009, untuk menyelamatkan bank ini, dana talangan yang dibutuhkan semula ditaksir Rp 678 miliar. “Begitu berkembang jadi Rp 6,7 triliun. Angkanya sangat besar sehingga kami tidak ingin sampai ke situ,” ujarnya.

Bila mengacu pada Peraturan Bank Indonesia tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial, risiko sistemik dinilai ketika ada potensi instabilitas akibat gangguan yang menular pada sebagian atau seluruh sistem keuangan. Penyebabnya bisa karena interaksi dari faktor ukuran, kompleksitas usaha dan keterkaitan antarinstitusi pasar keuangan, serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan.

Terkait institusi perbankan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2 Tahun 2018 mendefinisikan bank sistemik sebagai bank yang dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau secara keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan jika bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Dalam hal ini OJK akan selalu memperbarui data bank sistemik berdasarkan ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain.

Lalu bagaimana dampak sistemik pada lembaga keuangan non-bank terutama asuransi? Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menyatakan, saat ini sebenarnya potensi risiko sistemik di industri asuransi sudah terlihat sejak aneka masalah menjerat Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 yang tak kunjung tuntas. Dengan terungkapnya gagal bayar di Jiwasraya makin menandakan risiko tersebut.

Bila di perbankan ada kekhawatiran rush atau penarikan dana secara besar-besaran, hal yang sama juga bisa menimpa asuransi ketika para nasabahnya menarik dana premi mereka, bahkan yang belum jatuh tempo. Seperti dikutip Bisnis Rabu kemarin, Irvan mengatakan, “Sekarang sudah mulai ada penebusan polis saving plan di beberapa asuransi swasta karena khawatir dengan kasus Jiwasraya.”

Yang menghawatirkan, Jiwasraya tak mampu menunaikan kewajibannya ketika ada penarikan tersebut, atau gagal bayar. Berdasarkan hasil investigasi BPK, salah satu penyebab Jiwasraya mengalami gagal bayar klaim asuransi jatuh tempo akibat rendahnya kualitas saham dan reksa dana dalam portofolio investasinya. “Analisis tidak didasarkan data valid dan objektif,” kata Agung.

Perusahaan negara ini memang diketahui cukup agresif dalam menyalurkan dana nasabah ke dua instrumen. Sepanjang 2018, misalnya, manajeman Jiwasraya menempatkan mayoritas dana premi ke reksa dana hingga Rp 19,2 trilun. Investasi portofolio terbesar selanjutnya pada saham dan properti dengan jumlah masing-masing Rp 6,6 triliun. Lihat penyaluran selengkapnya di Databoks berikut ini:

Sebenarnya, kata Agung, permasalahan Jiwasraya telah tercium sejak lama. Pada 2016, lembaga tinggi negara ini mendapati 16 temuan terkait pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan dan biaya operasional Jiwasraya pada 2014 - 2015.

(Baca: BPK Ungkap Jiwasraya Lakukan Rekayasa Keuangan untuk Tutupi Kerugian )

Jiwasraya dituding kurang optimal dalam mengawasi reksa dana yang dimiliki dan terdapat penempatan saham secara tidak langsung di satu perusahaan berkinerja kurang baik. Dalam rangkaian penelusuran ini, BPK menyimpulkan terjadi penyimpangan atau perbuatan melawan hukum atas pengumpulan dan penyaluran dana pada produk Jiwasraya Saving Plan.

Hal ini berawal ketika manajemen menujual produk dengan cost of fund atau biaya dana yang sangat tinggi. Ini efek dari imbal hasil yang ditawarkan jauh melampaui bunga obligasi dan deposito ketika itu, yakni 9 – 13 persen.

Malapetaka terbuka ketika para pejabat perusahaan itu memutuskan untuk menempatkan dananya pada instrumen saham dan reksa dana berkualitas rendah. Misalnya menanamkan pada saham TRIO, SUGI, dan LCGP sepanjang 2014 hingga 2015 yang tidak didukung oleh kajian memadai. Apalagi keputusan tersebut dilaksanakan manajer investasi kelas bawah.

Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan perusahaan untuk mengganti saham mereka ke yang lebih baik. Rekomendasi sempat dijalankan. “Namun mereka melakukan lagi kesalahan itu sampai sekarang,” kata Agung. Akibatnya, Jiwasraya merugi Rp 6,4 triliun pada reksa dana dan Rp 4 triliun pada penempatan di saham.

Tak heran setelah itu data Kementerian Keuangan menunjukkan pendapatan Jiwasraya pada 2018 hanya Rp 7,81 triliun, sementara harga pokok produksi (HPP) ditambah beban usahanya Rp 23,73 triliun. Alhasil, Jiwasraya pada tahun itu merugi Rp 15,83 triliun. Padahal tahun sebelumnya laba Rp 2,4 triliun. Perhatikan laju ekuitas Jiwasraya pada grafik Databoks di bawah ini.

Tahun lalu, kondisi Jiwasraya tak kunjung membaik, bahkan lebih parah. Perusahaan makin terseok-seok untuk membayar klaim nasabah. Hingga kuartal ketiga 2019, ekuitas Jiwasraya merah pekat hingga Rp 23,92 triliun. Mereka mengungkapkan potensi penurunan nilai aset Rp 6,21 triliun. Dengan begitu, total ekuitasnya mencapai minus Rp 30,13 triliun.

 

Untuk mengatasi masalah ini, perlu tambahan dana Rp 32,89 triliun. Harapannya nilai ekuitas yang negatif akan teratasi dan memenuhi ketentuan permodalan asuransi alias risk based capital (RBC) yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Opsi penyelamata ini yang sedang dibahas Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Keuangan.

 
Selanjutanya: Belajar dari Kejatuhan Raksasa Asuransi Dunia AIG