(Testing Katadata)
Sustainability reporting atau pelaporan keberlanjutan oleh perusahaan semakin marak. Melansir Brightest, pelaporan keberlanjutan merupakan pelaporan non-finansial utama bagi perusahaan atau organisasi tentang risiko, kesempatan, dan praktik bisnis berkelanjutan kepada investor, masyarakat umum, dan pemangku kepentingan lain.
Pelaporan dilakukan melalui beragam standar yang dibentuk beragam inisiatif global. Brightest mencatat jumlah standar pelaporan ini berkisar 600 jenis, dengan 10-15 di antaranya adalah standar bertaraf internasional.
Global Reporting Initiative (GRI) menjadi standar yang paling banyak digunakan. Diluncurkan pada tahun 1997, GRI menyediakan standar umum di sektor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang ditujukan untuk bisa diakses publik.
Selanjutnya, ada Sustainability Accounting Standards Board (SASB) yang dibentuk tahun 2015. Standar ini menyediakan kerangka untuk menilai risiko finansial pada komitmen ESG untuk diketahui oleh investor. Saat ini, SASB sedang dalam proses untuk digabungkan ke dalam standar baru yang dikembangkan beberapa negara Barat, yakni International Sustainable Standards Board (ISSB).
Standar lainnya adalah Taskforce on Climate-Related Financial Disclosure (TCFD). Dibentuk tahun 2015, kerangka yang disediakan standar ini digunakan untuk pelaporan ESG dan risiko iklim di sektor jasa keuangan serta perbankan. Pelaporan lewat standar ini utamanya diakses untuk investor.
Tersedia juga standar Carbon Disclosure Project (CDP). Standar bentukan tahun 2000 ini dapat digunakan perusahaan untuk menilai upayanya di bidang perubahan iklim, kehutanan, keamanan air, dan rantai pasok. Target pelaporan ini adalah investor serta sektor rantai pasok secara umum.
Tingkat pelaporan keberlanjutan juga melesat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut survei global yang dilakukan lembaga KPMG bertajuk “Big Shifts, Small Steps: Survey of Sustainability Reporting 2022,”pelaporan keberlanjutan untuk 500 perusahaan dengan market cap terbesar meningkat dari 86 persen pada tahun 2018, menjadi 96 persen pada tahun 2022.
Di tahun yang sama, survei PricewaterhouseCoopers (PwC) dan National University of Singapore berjudul "Sustainability Counts II: State of sustainability reporting in Asia Pacific" mengkaji pelaporan keberlanjutan yang dilaksanakan pada 50 perusahaan teratas di 14 negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Hasilnya, perusahaan yang mempublikasikan pelaporan keberlanjutannya meningkat 11 persen, dari 77 persen di tahun 2021 menjadi 88 persen di tahun 2022.
Selanjutnya, dalam rangka mengencarkan pelaporan, 7 dari 14 negara sudah atau berencana untuk mewajibkan pelaporan menggunakan TCFD. Sementara itu, sebanyak 92 persen perusahaan yang disurvei mengaku telah memiliki target ESG.
Untuk hasil di Indonesia, sebanyak 80 persen perusahaan Indonesia yang disurvei melaporkan komitmen keberlanjutannya menggunakan standar GRI. Sementara itu, penggunaan standar TCFD untuk menggabungkan risiko iklim dengan manajemen risiko lainnya tercatat meningkat 6 persen, dari 4 persen tahun 2021 menjadi 10 persen tahun 2022.
Indonesia juga paling pesat dalam hal pelaporan struktur tata kelola keberlanjutan perusahaan, yakni 52 persen pada 2021 dan meningkat pesat menjadi 84 persen pada tahun 2022. Sebagai pembanding, Selandia Baru dan Vietnam masing-masing juga tercatat mengalami peningkatan pesat, tetapi masing-masing hanya sebesar 12 persen.
uah negara kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia