Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Arnold Sirait
Editor: Yura Syahrul
11/10/2016, 10.22 WIB

Saling tuding

Ketua Indonesian Natural Gas Trader (INGTASabrun Jamil Amperawan menolak anggapan bahwa harga gas mahal karena ulah para trader. “Masalahnya bukan di kami, masalahnya di hulu,” kata dia kepada Katadata, akhir pekan lalu.

Sebaliknya, dia mengklaim, para trader turut meringankan beban pemerintah. Sebab, sebelum ada trader, tidak ada yang mau masuk ke dalam bisnis gas lantaran masalah infrastruktur. Belakangan, dalam 10 tahun terakhir, para trader bermunculan untuk memasok kebutuhan gas kapasitas kecil sebesar 0,5 juta kaki kubik per hari (mmscfd).

Menurut Sabrun, salah satu penyebab mahalnya harga gas untuk industri adalah margin yang diambil BUMN terlalu besar. Dari 29 perusahaan anggota INGTA, marginnya tidak lebih dari US$ 1 per mmbtu, kecuali ada permintaan khusus lain dari industri maka bisa mencapai 5 persen.

Sedangkan margin yang diperoleh BUMN mencapai US$ 2,5-3 per mmbtu. Hal ini sangat mempengaruhi harga karena pangsa pasar distribusi gas oleh BUMN mencapai 80 persen. “Margin itu terlalu besar, tapi tidak pernah disinggung. Yang disinggung itu ‘trader kertas’ perdagangan bertingkat,” katanya.

Ia pun menyodorkan tiga usulan agar harga gas lebih rendah. Pertama, margin BUMN harus dipotong. Kedua, pengaturan kembali harga gas di hulu. Ketiga, membuka keran impor agar harga gas lebih murah.  (Baca: Trader Modal Kertas Bakal Tak Dapat Jatah Gas)

Suara berbeda dilontarkan perusahaan hulu migas. Direktur Indonesia Petroleum Association Sammy Hamzah mengatakan, penyebab harga gas untuk industri mahal bukan di sektor hulu. Sebab, rata-rata harga gas di hulu di seluruh Indonesia hanya US$ 3 hingga US$ 7 per mmbtu. “Midstream yang (membuat harganya) mahal.”

Apalagi, menurut Sammy, 90 persen industri membeli gas melalui trader, bukan langsung dari hulu. Adapun, yang membeli langsung dari mulut sumur yakni pabrik pupuk dan pembangkit listrik.

Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Petrokimia Achmad Widjaya mengatakan, industri kesulitan membeli gas langsung dari hulu. Salah satunya karena infrastruktur gas yang ada masih terbatas.

Tapi,  saat ini pelaku industri menginginkan kejelasan pemerintah mengenai kebijakan penurunan harga gas. “Industri perlu kepastian, berapa dolar pun kami terima. Bisa saja pemerintah memberikan subsidi ke industri,” ujar dia.

Penurunan harga gas sangat penting untuk industri. Sebab, 40 persen hingga 70 persen struktur biaya industri berasal dari bahan bakar.

Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam menjanjikan penurunan harga gas untuk industri akan terealisasi dalam waktu dekat ini. “Sudah dibahas cukup lama, semoga tidak macet lagi. 1 Januari 2017 itu bisa,” kata dia.

Reporter: Anggita Rezki Amelia