Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Arnold Sirait
Editor: Yura Syahrul
11/10/2016, 10.22 WIB

Rencana pemerintah menurunkan harga gas untuk industri menghadapi setumpuk masalah. Rantai persoalannya memanjang, dari hulu hingga hilir. Padahal, Presiden Joko Widodo mematok tenggat penurunan harga gas bulan depan lantaran rencana itu sudah masuk dalam paket kebijakan ekonomi setahun lalu.

Dalam rapat terbatas kabinet mengenai harga gas untuk industri di kompleks Istana Jakarta, Selasa (4/10) pekan lalu, Presiden kembali menyoroti tingginya harga gas di dalam negeri sehingga mengganggu perekonomian. Rata-rata harga gas bumi di Indonesia mencapai US$ 9,5 per juta British Thermal Unit (mmbtu). Bahkan, ada yang harganya US$ 11-12 per mmbtu.

Bandingkan dengan beberapa negara jiran, seperti Vietnam hanya US$ 7 per mmbtu, Malaysia US$ 4 per mmbtu, dan Singapura US$ 4 per mmbtu. Padahal, Indonesia mempunyai potensi cadangan gas bumi yang sangat banyak. Sebaliknya, Vietnam, Malaysia, Singapura tergolong negara pengimpor gas bumi.

“Jangan sampai produk industri kita kalah bersaing hanya gara-gara masalah harga gas kita yang terlalu mahal,” kata Jokowi dalam rapat terbatas itu. (Baca: Jokowi Perintahkan Harga Gas Industri US$ 5 Mulai Akhir November)

Kepada para peserta rapat, yaitu Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Polhukam Wiranto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, Presiden meminta melakukan langkah-langkah konkret, seperti memotong rantai pasokan, agar harga gas bisa diturunkan tanpa mengganggu iklim investasi di hulu minyak dan gas bumi (migas).

Jokowi pun mematok target harga gas berkisar US$ 5-6 per mmbtu pada akhir November nanti. “Syukur-syukur di bawah itu,” katanya.

Patokan target itu seakan sebuah ultimatum Presiden kepada para bawahannya lantaran tingginya harga gas telah menjadi masalah menahun. Padahal, rencana penurunan harga gas sudah masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid III yang dirilis 7 Oktober tahun lalu.

Saat itu, Darmin menyatakan, harga gas untuk industri akan diturunkan sesuai dengan kemampuan industri masing-masing. Caranya dengan melakukan efisiensi pada sistem distribusi gas serta pengurangan penerimaan negara. Namun, kebijakan ini tidak akan mempengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian kontraktor migas.

Penurunan harga gas untuk industri tersebut akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2016. Dengan begitu, industri bisa memperoleh dorongan untuk memacu usahanya di tengah kondisi perlambatan ekonomi sejak tahun lalu.

Namun, hingga kini –genap setahun usia paket kebijakan ekonomi itu---penurunan harga gas tak kunjung terealisasi. Pemerintah selama ini bukannya berpangku tangan. Berbagai rapat melibatkan menteri-menteri terkait digelar dan sejumlah aturan sudah digodok dan diterbitkan.

Misalnya, pada 3 Mei lalu, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi. Isinya adalah, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri dan lebih tinggi dari US$ 6 per mmbtu, Menteri ESDM dapat menetapkan harga gas bumi tertentu.”Harga miring” gas ini dinikmati oleh tujuh industri, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.

(Baca: Pemerintah Upayakan Tekan Harga Gas di Hulu Hingga US$ 2)

Selain itu, muncul Peraturan Menteri ESDM No.16 Tahun 2016 yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 40 tahun 2016. Aturan itu menyatakan, penurunan harga gas mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku surut sejak 1 Januari 2016.

Lagi-lagi, aturan itu tak kunjung berjalan karena Menteri ESDM menanti daftar industri yang disetujui oleh Menteri Perindustrian untuk menikmati hargas gas rendah tersebut. Belakangan, daftar itu diserahkan namun ada tambahan jumlah industrinya. Padahal, Perpres No. 40 dan Permen ESDM No. 16 hanya mencantumkan tujuh industri yang bisa menikmati harga gas murah.

Reporter: Anggita Rezki Amelia