Perang Mata Uang, Yuan Jadi Senjata Tiongkok Lawan Trump

123RF.com/Dilok Klaisataporn
Amerika Serikat (AS) menuding Tiongkok sebagai currency manipulator alias sengaja melemahkan nilai tukar yuan untuk meningkatkan daya saing produk ekspornya.
Penulis: Sorta Tobing
6/8/2019, 16.29 WIB

Indonesia Akan Banjir Produk Tiongkok?

Kepala peneliti pasar keuangan Asia dari Rabobank, Michael Every, menilai langkah bank sentral Tiongkok atau PBOC dalam melemahkan yuan akan berdampak luas. “Ini akan meningkat dengan cepat dan buruk,” katanya seperti dikutip dari NYTimes.

Kalau Tiongkok terus membiarkan nilai mata uangnya melemah, devaluasi juga bakal terjadi di negara Asia Timur lainnya serta Asia Tenggara. Dampaknya, inflasi naik, konsumsi rumah tangga tertahan, dan perang tarif semakin meluas.

Namun, Gubernur PBOC Yi Gang menilai banyak mata uang dari negara lain mengalami depresiasi terhadap dolar akhir-akhir ini. “Saya percaya RMB (renminbi alias yuan) akan tetap menjadi mata uang yang kuat,” kata Yi dalam keterangan tertulisnya.

Pasar modal global pun terkena imbasnya sejak kemarin. Mayoritas indeks bursa saham AS rontok lebih dari 2% pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi WIB). Lalu, perdagangan hari ini di kawasan Asia Pasifik angkanya pun terlihat memerah.

Sampai pukul 15.00 WIB, indeks harga saham gabungan (IHSG) turun 0,50% ke 6.144,75. Strait Times Singapore turun 0,88%, Shanghai Composite Index turun 1%, indeks S&P/ASX 200 turun 2,44%, Topix 500 Jepang turun 0,43%. (Perhatikan Databoks berikut ini).

Pelaku pasar terlihat memilih berinvestasi yang minim risiko. Harga emas menanjak di tengah aksi jual yang terjadi pasar saham global. Pagi tadi harga emas di perdagangan komoditas New York atau Comes untuk pengiriman Desember naik 0,28% menjadi US$ 1.480 per troy ons.

Harga emas di pasar spot naik 0,16% dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya ke US$ 1.466 per troy ons. Bila dibandingkan posisi akhir tahun lalu, harga emas telah naik 14,53%.

Namun, harga minyak global anjlok lebih dari 3% pada perdagangan kemarin waktu AS. Investor khawatir pertumbuhan ekonomi global melambat karena eskalasi perang dagang yang dapat membatasi permintaan minyak mentah dunia.

(Baca: Saat IHSG Anjlok, Saham Sektor Konsumer dan Bank Jadi Pilihan)

Direktur Riset Core Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai pelemahan yuan akan menyebabkan impor barang Tiongkok sulit dibendung. Barang-barang dari negara itu akan lebih murah bila diukur dengan dolar AS.

Melihat kondisi tersebut, menurut dia, pemerintah China memang sengaja melakukan pelemahan mata uangnya. “Apa yang dilakukan Beijing akan direspon dengan kebijakan yang sama dengan negara-negara bermanufaktur kuat,” katanya kepada Katadata.co.id. Bila itu terjadi, maka lengkaplah perang dagang ini akan diikuti pula dengan perang mata uang.

Nah, Indonesia sudah pasti terkena imbasnya. Defisit neraca dagang tahun ini akan melebar. “Negara ini tidak punya industri manufaktur kuat dan pasti menjadi sasaran penetrasi pasar,” ujar Pieter. Selain itu, aliran dana akan berbalik dan menekan rupiah beserta IHSG karena pelaku pasar lebih memilih safe heaven.

Karena itu, Pieter menilai Indonesia tak punya amunisi untuk ikut dalam perang ini. Tak ada cara lain bagi pemerintah untuk tetap fokus pada domestik dan mencari substitusi impor, sambil perlahan membangun basis manufaktur berorientasi ekspor.

(Baca: Tiga Menteri Ekonomi Pesimistis Target Pertumbuhan 2019 Tercapai)