Menakar Efektivitas Injeksi BI Untuk Likuiditas Perbankan

123RF.com/troyzen
Di tengah pandemi corona, Bank Indonesia menambah likuiditas perbankan dengan menurunkan giro wajib minimum atau GWM.
Penulis: Sorta Tobing
16/4/2020, 08.00 WIB

Di tengah pandemi corona dan melemahnya perekonomian secara global, stabilitas likuiditas perbankan menjadi sorotan Bank Indonesia. Pada Selasa lalu (14/4), bank sentral kembali melakukan kebijakan moneter melalui instrumen kuantitas atau quantitative easing.

Giro wajib minimum atau GWM rupiah turun 200 basis poin untuk bank umum konvensional dan 50 basis poin untuk bank syariah. Selain itu, BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan giro untuk pemenuhan rasio intertemediasi makroprudensial atau RIM perbankan dalam periode satu tahun.

Semua kebijakan itu akan berlaku mulai 1 Mei 2020. "Dari penurunan GWM dan tidak melakukan kewajiban tambahan RIM akan menambah injeksi likuiditas sekitar Rp 117,8 triliun," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi video di Jakarta, Selasa (14/4).

Penurunan GWM merupakan langkah lanjutan pada 2018 dan awal 2020. Total injeksinya hingga kini ditaksir mencapai Rp 78 triliun dan US$ 3,2 miliar. Dengan tambahan pelonggaran yang berlaku Mei nanti, total likuiditas yang disuntik BI mencapai Rp 420 triliun.

BI juga telah mengeluarkan kebijakan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder sebesar Rp 166 triliun. Ada lagi penyediaan likuiditas kepada perbankan sekitar Rp 56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying SBN.

Kondisi likuiditas perbankan, menurut catatan BI, masih memadai. Rata-rata harian volume pasar uang antar-bank (PUAB) Maret 2020 sebesar Rp 12,8 triliun. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 22,81% pada Februari 2020.

(Baca: Perbankan Masih Mengkaji Impementasi Penyesuaian Bunga Kartu Kredit BI)

Gubernur BI Perry Warjiyo (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Langkah BI, menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede, akan menambah likuiditas untuk bank umum klasifikasi usaha (BUKU) I sebesar Rp 1 triliun. Untuk BUKU II Rp 12 triliun, BUKU III Rp 29 triliun, dan BUKU IV Rp 60 triliun.

Perbedaan angka tersebut berkaitan dengan risiko setiap kelompok bank. Pada umumnya bank BUKU I dan II mempunyai loan-to-deposit ratio (LDR) relatif rendah, kurang dari 90%. “Yang mengkhawatirkan justru berasal dari BUKU III. LDR-nya sejak 2019 selalu berada di atas 100%,” ucap Josua.

LDR merupakan rasio antara total pinjaman bank dan total simpanan. Sementara BUKU I sampai IV menunjukkan modal inti bank. BUKU I merupakan bank dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun. BUKU II memiliki modal inti Rp 1 triliun hingga Rp 5 triliun.

BUKU III modal intinya Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun. Terakhir, BUKU IV menunjukkan modal inti paling tinggi, yaitu di atas Rp 30 triliun. Yang masuk dalam kelompok ini adalah BRI, Bank Mandiri, BCA, BNI, CIMB Niaga, dan Bank Danamon.

(Baca: Pasar Respons Positif Tambahan Likuiditas BI, Rupiah Dibuka Stagnan)

Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan jumlah bank umum kategori BUKU I dan BUKU II di Indonesia. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, hingga Oktober 2019 jumlah bank BUKU I mencapai 13 bank. Jumlah bank BUKU II mencapai 52 bank.

Josua mengatakan, risiko yang akan mengganggu likuiditas perbankan ke depan adalah peningkatan penerbitan obligasi pemerintah untuk pendanaan penanganan virus corona. “Ada kekhawatiran dampak crowding-out karena perpindahan dana dari masyarakat ke obligasi tersebut,” ucapnya.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai penurunan GWM lebih bermanfaat untuk menambah likuiditas di pasar SBN. Pasalnya, dalam kondisi krisis karena pandemi corona perbankan masih menahan laju pertumbuhan kredit.

"Di saat risk-off karena Covid-19 seperti ini, bank-bank pasti akan fokus pada kualitas aset, bukan pertumbuhan kredit," kata Satria, seperti dikutip dari Antara.

(Baca: Tangkal Corona, Perbankan Segera Implementasi Stimulus dari OJK dan BI)

Di saat yang sama, pemerintah lebih membutuhkan dana untuk menangani virus yang telah menginfeksi lebih 5.100 orang di Indonesia. Estimasi biaya yang diperlukan di kisaran Rp 1.000 triliun.

Apalagi situasi global yang belum stabil dapat mempengaruhi kondisi pembiayaan. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah penawaran SUN rutin pada Selasa lalu. “Pasar masih tidak stabil, banyak data yang akan keluar dan bisa mengubah sentiment global,” ucapnya.

Selanjutnya: Kondisi Perbankan Masih Kuat, Mengarah Waspada

Reporter: Agustiyanti, Agatha Olivia Victoria