Mewaspadai Ancaman Krisis Ekonomi Panjang Imbas Pandemi Corona

123RF.com/alphaspirit
Penulis: Agustiyanti
22/4/2020, 06.00 WIB

Hanya kurang dari tiga bulan ramalan ekonomi dunia berubah drastis akibat pandemi virus corona. Pandangan sejumlah lembaga internasional sangat pesimistis. Mereka ramai-ramai memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi, bahkan hingga minus. Pemerintah Indonesia pun mulai bersiap menghadapi krisis panjang.

Ramalan muram itu seperti datang dari IMF. Pada Januari lalu, lembaga moneter internasional ini masih memperkirakan ekonomi dunia bisa tumbuh hingga 3,3 % pada 2020. Tapi tempo hari mereka memangkas proyeksi tahun ini hingga minus 3 %.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebutkan, kondisi sekarang tak seperti krisis yang pernah terjadi sebelumya. Situasi saat ini lebih kompleks, lantaran terjadi perpaduan gejolak pada aspek kesehatan yang merembet ke ekonomi. Sebagian besar aktivitas ekonomi terhenti demi mencegah penyebaran Covid-19.

“Lebih banyak ketidakpastian. Berdasarkan apa yang kami pelajari, meredakan penyebaran virus corona adalah yang paling efektif untuk memulai kembali ekonomi,” ujar Georgieva dalam pidatonya pertengahan bulan lalu.

Dia juga memprediksi pendapatan per kapita 170 negara akan menurun. Padahal proyeksi satu bulan sebelumnya masih optimistis, pendpatan per kapita 160 negara diperkirakan tumbuh positif.

Dalam laporan World Economic Outlook, lembaga ini memperkirakan ekonomi global membaik pada tahun depan dan tumbuh 5,8 %. Namun angka ini belum menunjukkan pemulihan sepenuhnya. “Bahkan pada 2021, kami perkirakan tingkat aktivitas ekonomi berada di bawah proyeksi sebelum pandemi ini,” kata Kepala Ekonom Gita Gopinath seperti dikutip CNBC, akhir pekan lalu.

(Baca: Lebih 100 Negara Berlomba Minta Pinjaman Darurat Pandemi Corona ke IMF)

Proyeksi perbaikan ekonomi global yang dibuat IMF memperhitungkan skenario dasar pandemi virus corona. Dalam rancang rencana tersebut, pandemi akan mereda pada semester kedua tahun ini. Ekonomi sejumlah negara yang ditutup akibat karantina untuk mencegah penyebaran Covid-19 mulai dibuka.

Namun pemulihan ekonomi akan sangat bergantung pada periode pandemi corona berakhir. Hingga kini belum ada yang dapat memastikan. Berdasarkan data Worldometers.info, total kasus positif virus corona di seluruh dunia hingga Selasa (21/4) mencapai hampir 2,5 juta dengan kematian lebih dari 170 ribu orang. 

Dikutip dari CNN, dokumen pemerintah Amerika Serikat yang rampung bulan lalu sebanyak 100 halaman tentang penanganan pandemi Covid-19 bahkan memuat rencana darurat selama 18 bulan atau lebih lama. Dokumen tersebut merupakan pandangan di belakang layar bagaimana pemerintah AS meningkatkan kesiapsiagaan.

Saat dokuman tersebut diberitakan, jumlah kasus corona di Negeri Paman Sam masih kurang dari 10 ribu. Namun saat ini, AS merupakan negara dengan jumlah kasus dan kematian akibat virus corona tertinggi di dunia. Lebih dari 760 ribu orang terjangkit dan tak kurang dari 40 ribu meninggal akibat pandemi ini.

IMF memproyeksikan ekonomi AS negatif hingga 5,9 % dan tingkat pengangguran akan mencapai lebih dari 10 % pada tahun ini. Kondisi tersebut bahkan lebih buruk dari krisis finansial pada 2008-2009, seperti antara lain terlihat dalam Databoks di bawah ini.

Siklus Krisis Ekonomi Panjang

Gubernur The Federal Reserve Minneapolis, Neel Kashkari, mengatakan pandemi corona akan menjadi perjalanan panjang dan berat dilalui. “Sulit melihat pemulihan ekonomi akan berbentuk kurva V, sesuai dengan skenario,” ujar Kashkari dikutip dari CBS.

Ia menyebutkan bank sentral Amerika Serikat saat ini telah mengambil langkah-langkah agresif untuk menahan kerusakan ekonomi dengan belajar dari pengalaman krisis keuangan 2008.

Sementara itu, Kongres AS meloloskan rencana paket penyelamatan ekonomi pemerintahan Presiden Donald Trump sebesar US$ 2,3 triliun. Ini merupakan stimulus terbesar dalam sejarah, yang antara lain menyediakan bantuan tunai kepada sebagian besar orang Amerika, pinjaman untuk usaha kecil, dan pendanaan untuk industri yang dirugikan oleh virus corona.

Kendati demikian, dana darurat sebesar US$ 350 miliar yang disediakan untuk usaha kecil dalam paket tersebut diperkirakan tak cukup. Pemerintah AS pun  kemungkinan kembali mengajukan tambahan stimulus kepada kongres.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengatakan banyak yang memandang kondisi sekarang bukanlah siklus krisis dalam waktu pendek atau short term death cycle yang kerap terjadi setiap 8-10 tahun sekali. Kondisi saat ini dianggap menggambarkan siklus krisis dalam kurun panjang atau long term death cycle yang kerap terjadi 60-70 tahun sekali.

“Pernah terjadi pada 1929-1933. Gelembung ekonomi memang sudah terjadi dan banyak yang bilang tinggal menunggu waktu. Kebetulan pemicunya krisis Covid-19,” ujar David.

(Baca: AS Siapkan Skenario Pandemi Corona Berlangsung hingga 18 Bulan)

Bank-bank sentral global pun telah mengucurkan stimulus yang berbeda dengan krisis 2008, lantaran ruang penurunan suku bunga yang lebih terbatas. The Fed bahkan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam tempo yang sangat singkat, dari memangkas bunga hingga nol persen hingga membeli surat sanggup bayar yang diterbitkan UMKM.

Meski dalam kondisi yang tak menentu, menurut David, fundamental ekonomi dan stabilitas sistem keuangan Indonesia saat ini tergolong cukup kuat dalam menahan dampak krisis ketimbang saat 1998 maupun 2008. Indonesia memiliki rasio utang berada di kisaran 30 % terhadap PDB, jauh lebih rendah dibanding sejumlah negara lain.

Selain itu, kondisi permodalan perbankan jauh lebih baik. Rasio kecukupan modal atau CAR bank-bank Indonesia masih kuat, bahkan termasuk salah satu yang tertinggi di antara negara-negara lainnya.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, CAR perbankan hingga Februari 2020 masih mencapai  22,42 %. Meskipun turun dibandingkan posisi bulan sebelumnya 22,82 %, CAR tersebut masih jauh lebih tinggi dari batas minimum ketentuan modal OJK sebesar 8 %. 

“Bahkan jika kondisi NPL perbankan menuju 5 %, kondisi permodalan perbankan masih cukup,” kata David. Hingga Maret 2020, rasio NPL perbankan secara gross tercatat sebesar 2,79 %.

 (Baca: Chatib Basri: Bank Dibayangi Kenaikan Kredit Macet Imbas Covid-19)

Meski perbankan dalam kondisi kuat, sejumlah langkah telah disiapkan. Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan menyiapkan mitigasi kemungkinan krisis menjalar ke sistem keuangan.

BI telah menginjeksi likuiditas ke perbankan lebih dari Rp 400 triliun, antara lain berupa ketentuan pelonggaran giro wajib minimum. OJK sudah melonggarkan ketentuan terkait restruktrisasi kredit dan mengeluarkan ketentuan merger lebih awal bagi bank yang terindikasi mengalami kesulitan modal.

Sementara LPS menambah amunisi jika langkah penanganan bank gagal dibutuhkan. “Kami telah menyiapkan skenario untuk kondisi keuangan LPS saat ini. Berapa bank kami mampu tangani,” ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah.

LPS telah memiliki total aset Rp 128 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 120 triliun akan dipergunakan untuk menangani perbankan jika ada yang gagal. Mekanismenya, LPS akan merepokan atau meminjam dengan aset surat berharga kepada Bank Indonesia sebesar Rp 60 triliun, sementara sisanya untuk membayarkan repo tersebut tiga bulan kemudian. Selain itu kerja sama dengan OJK diperketat dalam menangani bank bermasalah.

Halaman selanjutnya: Kondisi saat ini baru pertanda krisis