Ancaman Likuiditas Perbankan di Tengah Penurunan Suku Bunga Acuan

123RF.com/Andrii Yalanskyi
Bank Indonesia baru saja menurunkan suku bungan acuan 25 basis poin menjadi 5,5%. Penurunan ini salah satu harapannya dapat meningkatkan pertumbuhan kredit. Namun, perbankan saat ini mengalami kondisi likuiditas yang kering.
Penulis: Sorta Tobing
27/8/2019, 16.00 WIB

Kondisi ini juga terlihat dari rasio peran layanan sektor keuangan dalam pembentukan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB). Selama lebih dari satu dekade, rasio Indonesia tertahan di bawah 40%.

Pieter menilai kondisi itu sudah jauh tertinggal dibandingkan negara Asia lainnya. Misalnya, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang rasio M2 per GDP-nya di kisaran 125%. Lalu, Cina di 200%. Jepang bahkan sudah lebih maju lagi di 250%.

Menurut definisi BI, M2 adalah uang dalam arti luas. Termasuk di dalamnya uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral, ditambah uang kuasi (tabungan, simpanan berjangka, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun. 

“Kita memang sangat kekeringan likuiditas,” ucap Pieter. Sayangnya, BI justru melihat sebaliknya dan terus melakukan kontraksi moneter.

Pemerintah yang saat ini banyak menerbitkan surat utang negara (SUN), menurut dia, hanya berdampak mengurangi likuiditas perbankan dalam periode sangat pendek.

Keringnya likuiditas saat ini, ia meyakini, karena kebijakan kontraktif BI, meskipun saat ini mulai berkurang. “Perlu kebijakan moneter ekspansif dan dalam periode panjang untuk menjadikan likuiditas perbankan benar-benar longgar,” katanya.

(Baca: Ancaman Kekeringan Likuiditas Mengintai Perbankan)

Ilustrasi aktivitas perbankan. Bank Indonesia baru saja menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,5%, di tengah kondisi likuiditas perbankan yang masih kering. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Suku Bunga Kredit Bank Turun?

Terlepas dari semua kondisi itu, publik tentu bertanya-tanya kapan bunga kredit turun. BI sudah dua kali menurunkan suku bunga acuan, tapi hal itu tak terlalu terasa dengan bunga kredit perbankan.

Menurut Pieter, potensi itu masih ada. Tapi situasinya tidak bisa cepat. “Prosesnya akan lambat,” katanya. Likuiditas bank masih ketat dan bank sentral belum melakukan kebijakan moneter ekspansif yang mendorong kegiatan ekonomi.

Direktur Utama BCA Jahja Setiatmadja mengaku pihaknya masih perlu mengkaji dampak dari penurunan bunga acuan BI. Sejauh ini, menurut Jahja, BCA telah menurunkan bunga deposito sebesar 0,25% dan bunga kredit secara selektif.

"Bunga kredit sudah ada yang turun, tapi tergantung tingkat risiko nasabah, jadi tidak merata. Ke depan, bunga KPR bisa saja diturunkan tapi belum kami hitung," kata Jahja pada Jumat lalu.

Meski bunga KPR diturunkan, Jahja menilai permintaan kredit properti masih tetap lemah tahun ini. Hingga semester pertama tahun ini, penyaluran kredit rumah BCA tercatat mencapai Rp 87,8 triliun atau baru naik 3,2% dibanding posisi akhir tahun lalu.

(Baca: JK Minta BI dan Perbankan Turunkan Bunga Kredit Menjadi Sekitar 7%)

Senada dengan Jahja, Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo juga belum membuat perhitungan terkait dampak penyesuaian bunga acuan BI. "BRI baru saja menurunkan bunga kredit untuk semua segmen 0,25% dua pekan lalu. Nanti kami hitung lagi penurunan berikutnya, semua segmen punya potensi, termasuk KPR," kata Haru.

Direktur Consumer Banking CIMB Niaga Lani Darmawan juga masih menghitung dampak penurunan bunga acuan BI terhadap biaya dana perseroan. "Tapi memang biasanya kami sesuaikan penurunan berdasarkan bunga acuan BI," ungkap dia.

Lani pun menyebut jenis Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) berpeluang untuk disesuaikan. Saat ini, CIMB Niaga menetapkan suku bunga dasar kredit (SBDK) untuk segmen KPR sebesar 9,9%.