Catatan dari Xinjiang (2): Era Kejayaan Ekonomi Asia

Katadata/Metta Dharmasaputra
Xinjiang International Grand Bazaar, pusat belanja di Urumqi, Provinsi Xinjiang, Tiongkok.
Editor: Redaksi
2/12/2019, 13.00 WIB

Kerja Sama RI-Tiongkok

Pada 2013 lalu, sebuah inisiasi telah digulirkan oleh Presiden Tiongkok, Xi Jinping, untuk kembali menghidupkan Jalur Sutra. One Belt One Road (OBOR) yang kemudian berganti nama menjadi Belt and Road Initiative.

Terdapat dua jalur yang digunakan untuk misi perluasan perdagangan ini, yakni Sabuk Ekonomi Jalur Sutra yang berbasis daratan dan Jalur Sutra Maritim yang lintas samudera.

Dalam kerangka itu, Tiongkok kini sedang gencar melakukan kerja sama investasi dengan negara-negara di Asia. Sejumlah dana investasi digelontorkan ke beberapa negara, seperti ke Pakistan (US$47 miliar), Malaysia (US$27 miliar), dan Filipina (US$24 miliar).

Pemerintah Indonesia juga menawarkan peluang investasi di dua kelompok prioritas. Kelompok pertama mencakup 30 proyek di empat koridor: Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali senilai total US$91 miliar atau sekitar Rp 1.288 triliun. Adapun kelompok kedua terdiri atas beberapa proyek di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, dan Papua.

Menyangkut hubungan dagang kedua negara, Boy Thohir melihat Xinjiang merupakan salah satu wilayah yang potensial. “Kita kan banyak mengimpor kapas dari Amerika. Dan ternyata Amerika mengimpor kapasnya dari Xinjiang,” ujarnya. “Jadi, saya akan sampaikan ke teman-teman di Kadin, kalau kita bisa langsung (impor dari Xinjiang), kenapa tidak?”

Boy juga melihat potensi sektor pertanian di Xinjiang yang luar biasa besar. Tomat merupakan salah satu produk unggulannya dan merupakan bahan baku saus tomat terbaik di dunia. “Mereka suplai 20-30 persen kebutuhan saus tomat dunia. Dan mereka pun sudah menjual saus tomatnya ke Indonesia. (Kerja sama) ini yang juga akan kita jajaki.”

Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, Djauhari Oratmangun, menambahkan, luasnya pasar Tiongkok memberikan peluang besar bagi pemasaran produk-produk Indonesia. Ia mengambil contoh, besarnya potensi penjualan sarang burung walet. “Nilainya bisa mencapai US$3 miliar,” ujarnya. “Indomie pun laku sekali di sini.”

Yang tak kalah penting, Djauhari melihat potensi besar pengembangan ekonomi digital oleh kedua negara. Di sektor ini, Tiongkok memang merupakan kawasan yang tumbuh paling cepat di dunia.

Dubes RI untuk Republik Rakyat Tiongkok Djauhari Oratmangun dan Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir di Wisma KBRI, Beijing. (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Pertumbuhan pesat juga dialami kawasan Asia Tenggara. Pada 2025 mendatang, menurut kajian Google-Temasek, nilai ekonomi digital di kawasan ini diperkirakan mencapai $240 miliar. Dari jumlah itu, $100-130 miliar di antaranya disumbang oleh Indonesia. Karena itu, Djauhari kini giat menggalang hubungan baik antar-pelaku ekonomi digital di kedua negara.

“Desember ini saya akan membawa co-founder Blockchain asal Cina ke Jakarta,” katanya. “Begitu pula sebaliknya, saya akan mengajak sejumlah perusahaan start-up Indonesia ke pusat-pusat pengembangan digital di Tiongkok.”

Begitulah, pendulum ekonomi dunia tampaknya memang tengah berpindah dari Barat ke Timur. Melalui revitalisasi Jalur Sutra, Tiongkok pun akan memimpin kembalinya kejayaan Asia.

Tapi seperti dikatakan mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, “Cina tidak melihat dirinya sebagai sebuah kebangkitan, melainkan kembalinya sebuah kekuatan.”

(Baca: Belt and Road Initiative, Menghidupkan Kembali Kejayaan Jalur Sutra)