Catatan dari Xinjiang (2): Era Kejayaan Ekonomi Asia

Katadata/Metta Dharmasaputra
Xinjiang International Grand Bazaar, pusat belanja di Urumqi, Provinsi Xinjiang, Tiongkok.
Editor: Redaksi
2/12/2019, 13.00 WIB

Sudah Diramal

Fenomena ini sesungguhnya sudah sejak lama diramalkan. Dalam buku “China Incorporated” (2005) karya veteran jurnalis Amerika Serikat, Ted Fishman, disebutkan bahwa jika abad 20 merupakan milik Amerika, maka abad 21 menjadi milik Tiongkok.

Tiongkok memang tumbuh tiga kali lebih cepat dari Amerika. Negeri ini pun amat rakus. Memakan 40 persen produksi semen dunia dan 25 persen baja dunia. Hampir semua perusahaan terbesar di dunia pun memiliki operasi besar di Tiongkok.

Pada 2003, Tiongkok juga sudah menjalin hubungan dengan 10 negara Asean. Dampaknya, hanya dalam tiga tahun, perdagangan Tiongkok dengan Asia Tenggara sudah menyamai transaksi kawasan ini dengan AS sebesar US$ 120 miliar.

Sinyalemen serupa diungkapkan oleh Martin Jacques. Profesor Universitas Renmin, Beijing, dan peneliti di London School of Economics ini menuliskannya dalam bukunya berjudul “When China Rules the World” (2011).

Dituliskannya bahwa kemajuan Tiongkok tidak lepas dari banyaknya investasi yang berhasil diraih. Sejak 1978, Tiongkok menyerap penanaman modal langsung asing atau foreign direct investment (FDI) senilai US$500 miliar.

Nilai ini sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan dengan dana investasi yang berhasil dihimpun Jepang dalam kurun 1945 hingga 2000. Pada 2003, Tiongkok bahkan telah menjadi negara penerima investasi langsung asing yang terbesar di dunia, menggeser posisi Amerika Serikat.

Kota Urumqi di malam hari (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Aliran dana investasi ini terutama diarahkannya ke anak perusahaan multinasional asing. Ini dimaksudkan untuk pemanfaatan buruh murah yang melimpah di Tiongkok, agar produk ekspor dari negeri ini bisa sekompetitif mungkin.

(Baca: Catatan dari Xinjiang (3): Di antara Turisme dan Terorisme)

Dengan cara ini, maka Tiongkok menjadi Bengkel Kerja Dunia. Dataran ini menjadi tempat beroperasi paling murah bagi pabrik-pabrik produsen barang di planet ini.

Dengan pola ini, seperti disampaikan oleh David Shambaugh dalam bukunya “China Goes Global” (2013), Tiongkok dalam kurun dua dekade telah bergerak dari pinggiran ke pusat sistem internasional.

Menurut guru besar Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di George Washington University ini, masyarakat global pun percaya bahwa dalam dua dekade mendatang, Tiongkok sudah akan mengambil alih peran AS sebagai pemimpin dunia.

Ada banyak indikator yang sudah menunjukkan fenomena itu. Selain populasinya terbanyak di seluruh jagad, Tiongkok kini telah menjelma menjadi negeri dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Jumlah miliuner dan biliuner di wilayah ini pun yang terbanyak di dunia.