Catatan Merah Pasal-pasal Omnibus Law Cipta Kerja

123RF.com/Alexander Sikov
Banyak persoalan diatur dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, berlimpah pula kritik untuk pasal-pasal yang bermasalah, termasuk isu ketenagakerjaan.
Penulis: Sorta Tobing
27/2/2020, 06.00 WIB

Tebalnya seperti kamus, jumlah halamannya mencapai 1.028 lembar. Rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja berisi 11 kluster pembahasan dan 1.200 pasal. Produk hukum ini merangkum sekitar 79 undang-undang yang sudah ada.

Ketika RUU itu masuk ke DPR pada 12 Februari lalu, kritik dan protes langsung datang dari berbagai pihak. Kelompok serikat pekerja paling keras menyuarakan penolakannya.

Mereka berpendapat pasal-pasal dalam aturan itu hanya menguntungkan pengusaha, tapi tidak melindungi buruh.  “Bicara investasi tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh,” ucap Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal beberapa waktu lalu.

Para petani pun menyuarakan kritiknya. RUU Ciptaker, menurut mereka, berbahaya untuk sektor pertanian karena menyetarakan produk pangan lokal dan impor. “Itu sangat berbahaya. Ibarat tinju, pertandingannya tidak seimbang,” kata Ketua Umum Perhimpunan Tani Indonesia Hermanto Siregar.

Bahkan, Wali Kota Bogor Bima Arya memprotes penyusunan aturan tersebut yang tidak partisipatif dengan daerah. “Proses ini (pembahasan omnibus law) seharusnya transparan, inklusif, dan partisipatif,” ujarnya.

(Baca: Kepentingan Startup terkait Kemudahan Izin Pekerja Asing dalam Omnibus)

Demo buruh menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja. (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)

Namun, jauh sebelum itu sebenarnya RUU ini sudah bermasalah. Niat Presiden Joko Widodo untuk mengubah dan mengatur ulang beberapa peraturan dalam satu undang-undang alias omnibus law sebenarnya langkah baik.

Isu utama RUU Ciptaker sebenarnya soal perizinan. Pemerintah menginginkan tidak ada lagi tumpang tindih dan ketidakpastian aturan. Harapannya, kondisi iklim investasi bisa lebih kondusif untuk menaikkan produktivitas dan lapangan kerja baru.

Aturan itu juga bertujuan mendorong Indonesia masuk kelompok negara maju dengan pendapatan per kapita US$ 23,2 ribu atau Rp 324,9 juta pada 2045. Dengan target ini produk domestik bruto nasional bisa mencapai US$ 7,4 triliun, nomor lima terbesar di dunia.

Untuk memenuhi target itu, Indonesia harus keluar dari jebakan kelas menengah atau middle income trap. Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional atau RPJMN 2020-2045, pemerintah memperkirakan hal itu akan tercapai pada 2036, saat PDB per kapita sekitar US$ 12,2 ribu, seperti terlihat grafik Databoks di bawah ini.

Tapi dalam proses penyusunannya, pemerintah seakan tertutup. Publik hanya tahu pihak pengusaha terlibat dalam menyaring aturan itu, yang dipimpin Kamar Dagang Indonesia atau Kadin. Akibatnya, banyak pasal terkesan mendahulukan kepentingan mereka.

Saking banyaknya penolakan, Jokowi sampai tidak lagi pasang target penyelesaian pembahasan RUU itu di DPR dalam hitungan 100 hari. “Mungkin masih tiga, empat, lima bulan (pembahasan) baru selesai,” ucapnya di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis lalu (20/2).

(Baca: Menaker: Aturan Pesangon pada Omnibus Law Tak Picu Kenaikan Iuran BPJS)

Selanjutnya:  Pasal-Pasal Bermasalah dalam Omnibus Law Cipta Kerja

Reporter: Tri Kurnia Yunianto, Rizky Alika, Dimas Jarot Bayu, Antara