Di tengah pandemi corona, ekonomi dunia menghadapi prospek yang kelabu. Tim ekonom perusahaan raksasa finansial asal Amerika Serikat Morgan Stanley menjadikan resesi sebagai skenario dasar alias base case scenario ekonomi global tahun ini. Di kawasan Asia Tenggara, Thailand dan Singapura berada di jajaran teratas negara yang berpeluang mengalami pertumbuhan ekonomi minus.

Tim ekonom Morgan Stanley memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia minus 0,3% pada kuartal I, dan minus 0,6% pada kuartal II tahun ini, sebelum rebound pada dua kuartal berikutnya. Alhasil, pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksi hanya mencapai 0,9% tahun ini, tidak seburuk 2009 yang sebesar 0,8%, namun lebih buruk dibandingkan resesi 2001 dan 1990.

Di kawasan Asia, Bloomberg mencatat terdapat lima negara yang memiliki skala ekonomi besar dan berpeluang mengalami kontraksi ekonomi dalam kurun waktu 12 bulan ini. Tiga di antaranya negara Asia Tenggara yaitu Thailand, Singapura, dan Indonesia. Peluang kontraksi Thailand kedua terbesar di bawah Jepang. Sedangkan peluang kontraksi Indonesia berada di urutan kelima.

(Baca: Resesi Ekonomi yang Lazim Mengiringi Pandemi Besar di Dunia)

NegaraPeluang kontraksi
Jepang57,5%
Thailand30%
Korea Selatan25%
Tiongkok20%
Singapura15%
Indonesia3%

Sumber: Bloomberg

Thailand: Pariwisata Terpukul, Belanja Pemerintah Tertunda

Anjloknya kunjungan turis internasional di tengah pandemi corona memukul ekonomi Negeri Gajah Putih yang banyak bergantung pada sektor pariwisata. Sektor pariwisata berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.

Berdasarkan data Otoritas Pariwisata Thailand, seperti dikutip Bangkok Post, kedatangan turis pada Februari lalu anjlok 44,3% secara tahunan. Kunjungan dari turis Tiongkok, yang merupakan turis terbesar Thailand, anjlok 85,3%.

Gubernur Otoritas Pariwisata Thailand Yuthasark Supasorn mengatakan, dengan skenario pandemi berakhir pada Mei, kunjungan turis bisa turun dari 39,8 juta tahun lalu menjadi 30 juta tahun ini. Sedangkan devisa dari sektor ini turun 22%.    

Di tengah tekanan ini, belanja pemerintah Thailand tertunda imbas molornya persetujuan anggaran negara 2020. Persetujuan anggaran molor seiring perubahan formasi dalam koalisi pemerintah dan masalah legalitas suara di parlemen.

CHINA-HEALTH/THAILAND (ANTARA FOTO/REUTERS/Chalinee Thirasup)

Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings memprediksi ekonomi Thailand tumbuh 1% tahun ini, lebih lemah dari tahun lalu 2,4%. Adapun tahun lalu, ekonomi Thailand melambat signifikan seiring terpukulnya ekspor imbas pelemahan ekonomi global. Namun, tingkat pengangguran masih terkendali, meski ada kenaikan.

Sedangkan dikutip dari Bloomberg, Citigroup memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi Thailand tahun ini menjadi 0,2%, dari prediksi sebelumnya 2,2%. Di sisi lain, perusahaan sekuritas di Thailand yaitu Bangkok Phatra Securities memprediksi kontraksi 0,4%. Terakhir kali, Thailand mengalami pertumbuhan minus saat krisis 2009. 

Adapun pemerintah telah menyepakati paket stimulus bernilai 400 miliar baht atau setara Rp 199,9 triliun untuk menopang ekonomi. Paket stimulus ini termasuk pinjaman lunak bagi usaha kecil dan menengah. Sebelumnya, pemerintah Thailand juga telah mengambil kebijakan seperti pelonggaran pajak untuk berbagai sektor bisnis.

Di sisi lain, suku bunga acuan di negara tersebut semakin mendekati nol. Bank sentral Thailand atau Bank of Bangkok telah memangkas suku bunga acuan ke level 1%, guna memacu ekonomi. Potensi pemangkasan lebih lanjut masih terbuka.

Singapura: Risiko Resesi di Depan Mata

Singapura berada di ambang resesi seiring tekanan ekonomi imbas pandemi corona. Tim ekonom dari salah bank terbesar di Asia Tenggara yang juga milik pemerintah Singapura, Development Bank of Singapore (DBS), melihat risiko pertumbuhan ekonomi minus 0,5% di negeri merlion. Prediksi ini lebih buruk dari Februari lalu yang masih positif 0,9%.

Prediksi ini juga lebih buruk dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi saat krisis finansial global 2009, yang masih positif 0,1%. DBS mencatat, Singapura tiga kali mengalami pertumbuhan ekonomi negatif yaitu saat jatuhnya saham-saham perusahaan teknologi atau dot.com bubble burst pada 2001 (-1,1%) krisis finansial Asia pada 1999 (-2,2%), dan resesi sektor manufaktur pada 1985 (-0,6%).  

Sekadar catatan, dalam dua tahun belakangan, pertumbuhan ekonomi Singapura juga tercatat melambat drastis dari kisaran 4% pada 2017 menjadi hanya 0,7% tahun lalu. Ini terjadi seiring perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang mengganggu perdagangan internasional. Seiring perlambatan tersebut, tingkat pengangguran meningkat.

Tim ekonom DBS mengatakan, dengan memperhitungkan situasi yang kacau di berbagai bagian di dunia, pembatasan perjalanan, terganggunya perdagangan, investasi, dan konsumsi, masalah pandemi corona telah berevolusi menjadi resesi global. “Sebagai negara yang kecil dan terbuka, Singapura tidak bisa lepas dari kondisi ini. Resesi di Singapura tidak terelakkan,” demikian tertulis.

Singapura menghadapi tekanan dari sektor pariwisata hingga manufaktur dan ekspor. Pemerintah Singapura telah memperluas larangan perjalanan alias travel ban, tidak hanya dari dan menuju Tiongkok. Negara yang juga masuk dalam daftar travel ban seperti Korea, Iran, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Jepang, Swiss, Inggris, dan negara-negara Asia Tenggara.

Secara total, turis dari negara-negara ini memegang porsi 69% terhadap total kunjungan turis ke Singapura pada 2019. Hilangnya kunjungan turis dari berbagai negara tersebut berarti pukulan bagi berbagai industri terkait pariwisata, seperti penerbangan, hotel, restoran, perjalanan, serta ritel dan jasa hiburan.

Negara/regionalKedatangan TurisKontribusi
ASEAN6,62 juta34,7%
Tiongkok3,62 juta19%
Jepang884,21 ribu4,6%
Korea645,73 ribu3,4%
Inggris607,74 ribu3,2%
Jerman380,68 ribu2%
Perancis212,77 ribu1,1%
Italia102,7 ribu0,5%
Swiss97,93 ribu0,5%
Spanyol65,39 ribu0,3%
Iran7,96 ribu0,0%
Total yang terdampak13,25 juta69,4%
Keseluruhan19,11 juta100%

Sumber: Riset DBS dengan data dari CEIC, DOS, dan DBS

Di sisi lain, sektor manufaktur dan ekspor Singapura tertekan seiring keputusan pemerintah Tiongkok menutup beberapa kota dan pabrik di negaranya. Adapun sektor manufaktur menyumbang sekitar 20% terhadap PDB Singapura. Per Februari lalu, Purchasing Manager Index (PMI) Singapura turun ke level 48,7, terlemah dalam empat tahun, seiring jatuhnya PMI Tiongkok ke level 35,7. Indeks yang di bawah level 50 menunjukkan kontraksi bisnis. 

Sedangkan ekspor non-minyak Singapura ke Tiongkok anjlok 35,8%. Meskipun, kinerja ekspor non-minyak secara total masih tumbuh 3%, terbantu oleh penjualan ke negara lainnya seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Namun, kondisi ini bisa berubah drastis seiring semakin banyak negara yang menutup wilayahnya alias lockdown. Permintaan global diproyeksi turun.

Pemandangan Kota Singapura (ANTARA)

Merespons tekanan ekonomi, Pemerintah Singapura menerapkan kebijakan anggaran yang ekspansif tahun ini. Anggaran dirancang defisit SGD 10,95 miliar atau setara Rp 123 triliun, sekitar 2,1% terhadap PDB. Ini langkah yang signifikan mengingat anggaran Singapura empat tahun berturut-turut surplus total SGD 17,4 miliar atau sekitar Rp 196 triliun.

Termasuk dalam anggaran tahun ini yaitu paket stimulus tahap I bernilai SGD 4 miliar atau sekitar Rp 45 triliun untuk menstabilkan dan mendorong ekonomi. Lebih dari seperempat anggaran dalam paket stimulus ini untuk subsidi gaji sebesar 8% selama tiga bulan untuk lebih dari dari 1,9 juta pegawai lokal. Pemerintah Singapura juga menjanjikan paket stimulus lanjutan.

Di tengah tantangan yang semakin besar, pengusaha mengharapkan stimulus ekonomi yang juga lebih besar. Tim ekonom DBS mengharapkan stimulus tambahan berkisar SGD 14-16 miliar atau setara Rp 158-180 triliun. Ini termasuk penambahan subsidi gaji menjadi 12% selama enam bulan untuk pegawai lokal.

Selanjutnya: Indonesia: Risiko Ekonomi Tak Tumbuh Bila Pandemi Berkepanjangan