Konflik AS dan Iran Kerek Harga Minyak di Tengah Pandemi Corona

ANTARA FOTO/REUTERS/Stephanie McGehee
Ilustrasi, pedagang saham Kuwait terlihat di aula perdagangan pasar saham Kuwait Boursa di kota Kuwait, Kuwait, Senin (16/9/2019).
Penulis: Desy Setyowati
24/4/2020, 07.17 WIB

Harga minyak dunia cenderung naik tipis pada perdagangan pagi, hari ini (24/4). Hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran yang kembali memanas menjadi sentimen positif bagi harga minyak, yang sempat anjlok terdalam sepanjang sejarah akibat pandemi corona.

Berdasarkan data Bloomberg, pada pukul 07.16 WIB, harga minyak Brent untuk kontrak Juni 2020 naik 5,08% menjadi US$ 22,36 per barel. Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Mei 2020 naik 5,88% ke level US$ 17,47 per barel.

Analis menilai, kenaikan harga minyak ditopang oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang menyiapkan kapal perang untuk menyerang kapal Iran di Teluk. Melalui akun Twitter-nya, Trump menginstruksikan Angkatan Laut untuk menembak dan menghancurkan semua kapal perang Iran, jika melecehkan kapal AS.

Perseteruan terjadi lantaran AS mengaku tengah berpatroli dengan helikopter militer Apacge AH-64E di perairan internasional, Teluk Arab Utara. Komando Sentral AS mengatakan, 11 kapal Iran berulang kali melakukan pendekatan berbahaya.

(Baca: Dipicu Wacana Pemangkasan Produksi, Harga Minyak Naik ke US$ 20/Barel)

Namun, Iran mengatakan AS melanggar aturan internasional dan protokol laut di Teluk Persia dan Teluk Oman. Karena hal ini, hubungan antara kedua negara memanas. Alhasil, harga minyak naik tipis karena pasokan diprediksi akan semakin turun.

Kendati begitu, analis mengingatkan bahwa sentimen dari konflik AS dan Iran ini bersifat sementara. "Banjir pasokan minyak global yang secara signifikan melebihi permintaan, sikap agresif Presiden Trump tampaknya tidak akan mengubah fundamental pasar minyak dalam waktu dekat,” ujar Kepala ekonom UBS Global Wealth Management Paul Donovan dikutip dari Financial Times, Jumat (24/4).

Permintaan minyak kurang dari 29 juta barel per hari atau terendah sejak 1995. Sedangkan pasokan masih tinggi, di tengah fasilitas penyimpanan yang sudah mencapai batas kapasitas.

(Baca: Kejatuhan Harga Minyak Berisiko Hantam Ekonomi Negara Raja-raja Minyak)

Optimisme hanya datang dari rencana negara-negara pengekspor minyak dan Rusia (OPEC+) memangkas produksi 9,7 juta barel per hari, atau yang terbesar yang pernah dilakukan. Walaupun, perlaku pasar khawatir langkah ini tak cukup mengimbangi anjloknya permintaan akibat pandemi  virus corona.

Analis JBC Energy mengatakan, kenaikan harga minyak saat ini justru menunjukkan bahwa pasar mengantisipasi penurunan lebih lanjut. Apalagi, persediaan di pusat penyimpanan utama AS di Cushing, Oklahoma, meningkat setiap minggu sejak awal Maret dan mendekati kapasitas maksimum 76 juta barel.

Kelebihan pasokan dan fasilitas penyimpanan yang tak lagi tersedia itu sempat membuat harga minyak AS minus atau di bawah US$ 0 per barel. "Sampai kami melihat semacam resolusi dengan gagasan berapa banyak permintaan anjlok akibat Covid-19, aksi unjuk rasa akan berlangsung singkat," kata Manajer riset pasar di Tradition Energy Gene McGillian dikutip dari Bloomberg.

(Baca: Global Kebanjiran Pasokan, Harga Minyak Brent Anjlok ke US$ 18/ Barel)