Corona dan Empat Risiko Lain Mengancam Kejatuhan Ekonomi Global

123rf.com
Lima risiko mengancam perekonomian global, mulai dari konflik Amerika Serikat dan Iran hingga epidemi virus corona.
Penulis: Hari Widowati
27/2/2020, 13.53 WIB

The Economist Intelligence Unit (EIU) memetakan lima risiko utama yang mengancam perekonomian global tahun ini. Dampak konflik Amerika Serikat-Iran terhadap harga minyak, serta perang dagang antara AS dan Uni Eropa dinilai memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan penyebaran virus corona (Covid-19).

Tim EIU memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2020 akan lebih baik dibandingkan dengan 2019 yang diwarnai ketidakpastian. Namun, meningkatnya tensi geopolitik antara AS dan Iran serta meluasnya penyebaran virus corona di Tiongkok membatasi keyakinan pelaku usaha untuk berbisnis dan melakukan investasi. Gejolak sosial yang terjadi pada 2019 juga masih berlanjut tahun ini.

EIU memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan mencapai 2,9%, mendekati level terendah dalam satu dekade terakhir. "Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju akan melambat karena didorong perlambatan ekonomi AS," kata EIU dalam laporan berjudul Top Five Risks to The Global Economy 2020, yang diterima Katadata.co.id.

Epidemi virus corona di Tiongkok juga akan menahan prospek pertumbuhan ekonomi Asia. Di belahan dunia lainnya, akan terlihat pemulihan ekonomi moderat di Amerika Latin, Timur Tengah, dan negara-negara Sub-Sahara Afrika.

(Baca: Ancaman Resesi Mengintai Negara-negara Maju di Balik Virus Corona)

Prospek pertumbuhan ekonomi global ini didukung oleh kebijakan moneter ekstra longgar yang dilakukan oleh bank-bank sentral utama dunia. Kebijakan ini mampu menyokong permintaan di pasar negara-negara maju dan membatasi tekanan finansial yang terjadi di negara-negara berkembang dengan utang tinggi. Meski begitu, kebijakan moneter ekstra longgar ini juga berisiko memicu krisis utang baru di negara-negara berkembang, antara lain di Brasil, Turki, dan Afrika Selatan.

Kesepakatan AS-Tiongkok dalam perdagangan dinilai masih rentan. Potensi gesekan dari kedua raksasa ekonomi ini tidak bisa diabaikan dampaknya terhadap perekonomian dunia. "Menghadapi hal ini, para pembuat kebijakan dan dunia usaha harus bersiap menghadapi volatilitas lanjutan di 2020," kata EIU.

Berikut ini lima risiko utama yang mengancam perekonomian global versi EIU.

1. Konflik AS-Iran yang memantik lonjakan harga minyak global

Serangan udara AS yang menewaskan Qassem Suleimani, Komandan Pasukan Elite Korps Penjaga Revolusioner Iran menandai eskalasi tensi antara kedua negara. AS dan negara-negara sekutunya di Timur Tengah ingin menghindari konflik yang bisa memicu lonjakan harga minyak dunia. Di sisi lain, Iran tidak memiliki kekuatan militer dan finansial untuk membiayai perang melawan AS.

Namun, ketegangan antara AS-Iran sangat tinggi sehingga membuat komunikasi antarkedua negara semakin sulit. Selain itu, ada risiko tinggi bahwa Iran akan meluncurkan serangan terhadap aset-aset AS di Timur Tengah dalam beberapa bulan ke depan. Serangan bisa saja terjadi di negara-negara seperti Yaman, Libanon, Suriah, dan Irak. Serangan siber dari kedua pihak juga mungkin terjadi. AS dan sekutunya, misalnya Israel, bisa melumpuhkan fasilitas nuklir Iran melalui virus komputer.

EIU menyebut kemungkinan terjadi konflik militer yang mengarah pada peperangan antara AS-Iran mencapai 25%. Hal ini sangat besar dampaknya terhadap ekonomi global. Dalam skenario ini, Selat Hormuz yang merupakan jalur pasokan 20% minyak dunia bisa ditutup untuk jangka panjang. Kondisi ini bisa membuat harga minyak dunia melonjak ke level US$ 90 per barel sehingga memicu inflasi global, melemahkan daya beli konsumen dan dunia usaha.

(Baca: Konflik Iran vs AS, Ini 10 Negara dengan Militer Terkuat di Dunia)

2. Pecah perang dagang antara AS dan Uni Eropa

Hubungan dagang AS-Uni Eropa memanas sejak pertengahan 2018. Ketika itu, Pemerintah AS meluncurkan investigasi dampak impor mobil dan suku cadangnya terhadap keamanan nasionalnya. AS pun mengancam akan menaikkan bea masuk impor otomotif dari Eropa menjadi 25%. Ancaman ini akhirnya ditarik kembali.

Namun, pada Oktober lalu AS mengenakan bea masuk pada sejumlah barang impor dari Eropa seiring penyelidikan mengenai subsidi terhadap Airbus. AS juga mengancam untuk menerapkan tarif tambahan pada Prancis lantaran negara tersebut menerapkan pajak layanan digital kepada perusahaan-perusahaan teknologi AS. Yang terakhir adalah kesepakatan Green Deal yang membuktikan kontroversi hubungan AS-Uni Eropa.

"Tensi dagang AS-Uni Eropa akan kembali meningkat, setelah menyelesaikan fase pertama kesepakatan dagang AS-Tiongkok, perhatian AS kembali ke masalah surplus perdagangan Uni Eropa dengan AS," kata EIU. Akibatnya, eskalasi tarif yang melibatkan industri otomotif AS dan Uni Eropa tidak terhindarkan.

Jika AS menerapkan tarif tambahan pada impor otomotif dari Uni Eropa, perekonomian Uni Eropa akan terkena dampaknya. Industri otomotif menyumbang 6% dari total lapangan kerja di Uni Eropa. Belum lagi dampak penurunan ekspor ke AS dan negara-negara lainnya, keyakinan dunia usaha akan terpangkas.

Jika Uni Eropa dipaksa untuk membalas tindakan AS, risiko perang dagang meningkat. Perekonomian global dan pertumbuhannya akan melambat, inflasi naik, sentimen di sisi konsumen dan dunia usaha juga bakal merosot. EIU memperkirakan peluang terjadinya perang dagang AS-Uni Eropa sebesar 25%.

3. Dampak penyebaran virus corona terhadap ekonomi global

Epidemi virus corona yang pertama kali muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada Desember 2019 sudah menelan lebih dari 2.000 korban jiwa. Kasus-kasus infeksi baru pun terus bertambah dan penyebarannya semakin luas.

Dampak virus corona terhadap perekonomian global diperkirakan lebih dahsyat dibandingkan epidemi severe acute respiratory syndrome (SARS) pada 2003. Pasalnya, peran Tiongkok terhadap perekonomian dunia sudah berkembang empat kali lipat dibandingkan 2003.

Bedasarkan skenario dasar yang dilakukan oleh para profesional di bidang medis, kondisi darurat kesehatan di Tiongkok akan terkendali pada akhir Maret 2020. Pada saat itu, pemerintah akan mencabut karantina yang diterapkan di beberapa daerah dan aktivitas ekonomi kembali normal.

EIU memprediksi Pemerintah Tiongkok akan menerapkan stimulus fiskal dan moneter untuk memulihkan ekspansi ekonomi. Sehingga, ekonomi negeri Panda dan perekonomian global akan pulih pada semester II 2020. Berdasarkan hitungan EIU, ada 20% peluang virus corona tidak bisa dikontrol hingga pertengahan 2020. Namun, hanya ada 5% kemungkinan virus corona akan bertahan lebih lama dari 2020.

Dalam skenario terburuk, dampak ekonomi virus corona bakal lebih dalam dan bertahan lama. Kondisi ini menyebabkan disrupsi terhadap perdagangan global semakin parah, rantai pasokan harus dialihkan dari Tiongkok ke negara lain. Beberapa negara diprediksi akan menerapkan hambatan-hambatan tarif pada perdagangan bilateral.

Konflik dagang AS-Tiongkok akan kembali memanas jika Tiongkok tidak bersedia atau tidak bisa memberikan komitmen impor di bawah kesepakatan dagang tahap pertama. Sejumlah eksportir internasional akan mengalami tekanan finansial karena penurunan permintaan dari Tiongkok menekan harga komoditas dan pendapatan ekspor.

Krisis kesehatan publik yang berkepanjangan juga menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan keuangan di Tiongkok. Jika legitimasi dan kompetensi pemerintah terancam, mereka harus merespons dengan kebijakan kontrol sosial. Di sisi lain, ada kekhawatiran terhadap pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal yang diperpanjang hingga 2021 akan menambah utang swasta dan menggoyang stabilitas finansial Tiongkok. Dengan menghitung dampak langsung pelemahan permintaan di Tiongkok dan gangguan ekonomi di negara lain akibat virus corona, EIU memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini bisa lebih rendah dari 2,5%.

(Baca: Dampak Corona, IMF Ramal Laju Ekonomi Tiongkok Terendah dalam 30 Tahun)