Stabilitas Sistem Keuangan RI Dibayangi Perang Dagang AS-Tiongkok
Regulator di bidang ekonomi menyimpulkan stabilitas sistem keuangan Indonesia pada triwulan III 2019 masih terkendali. Namun, masih ada tantangan ketidakpastian perekonomian global yang dipengaruhi oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Kesimpulan itu berdasarkan pembahasan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rapat berkala yang berlangsung kemarin (31/10). Agenda utama yang dibahas adalah asesmen kondisi stabilitas sistem keuangan triwulan III 2019.
KSSK menyampaikan, stabilitas sistem keuangan triwulan III 2019 tetap terkendali di tengah ketidakpastian perekonomian global. Salah satu penyebabnya, ketegangan hubungan dagang AS dan Tiongkok, meskipun sempat mereda pada Oktober.
Perkembangan itu menyebabkan volume perdagangan menurun. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pun direvisi. Selain itu, harga komoditas melemah dan ada tekanan dari sisi inflasi.
“Berbagai negara merespons perkembangan ini dengan melonggarkan kebijakan moneter dan memberikan stimulus fiskal, yang kemudian mendorong masuknya aliran modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia,” demikian dikutip dari keterangan resmi KSSK, Jumat (1/11).
(Baca: KSSK NIlai Kondisi Perekonomian Triwulan II-2019 Terjaga dengan Baik)
Adapun anggota KSSK yang hadir dalam rapat tersebut adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Selain itu, hadir Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah.
Mereka mengatakan, dari sisi domestik, pertumbuhan ekonomi masih tetap baik. Namun, ada kontraksi kinerja ekspor. Hal ini perlu mendapat perhatian karena bisa berdampak pada kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III 2019 diprakirakan membaik. Hal itu didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang tetap besar, serta terkendalinya defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD). Kinerja NPI ini membuat nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS.
Kemudian, cadangan devisa masih berada jauh di atas standar kecukupan internasional. Inflasi juga terkendali pada level yang rendah dan stabil, di dalam target 3,5+1%. “Ketahanan ekonomi yang terjaga pada gilirannya mendukung stabilitas sistem keuangan,” demikian dikutip.
(Baca: Dana Asing Masuk Tembus Rp 217 T, BI: Investor Puas Kebijakan Jokowi)
Mereka juga menilai, stabilitas sistem keuangan yang terkendali ini didukung ketahanan perbankan yang terjaga, likuiditas memadai, dan stabilnya pasar uang. Hal ini tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang tinggi dan risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah.
Kecukupan likuiditas tergambar dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi. Perkembangan ini berkontribusi terhadap penurunan suku bunga deposito dan kredit. Hal ini sejalan dengan pelonggaran suku bunga acuan oleh BI.
Mereka juga mengklaim, koordinasi kebijakan KSSK yang terus diperkuat berdampak positif pada stabilitas sistem keuangan yang tetap baik. Koordinasi kebijakan pun diarahkan untuk mempertahankan stabilitas keuangan, sehingga tetap mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, sinergi kebijakan diarahkan untuk memperkuat ketahanan eksternal. Caranya, dengan menerapkan berbagai upaya guna meningkatkan ekspor barang dan jasa, serta menarik aliran masuk modal asing, termasuk penanaman modal asing (PMA).
(Baca: Transaksi Perbankan Berjalan Normal, Meski Terjadi Aksi Massa 22 Mei)
BI bahkan memperkuat bauran kebijakan akomodatif, dengan menurunkan suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate/BI7DRR) 100 basis poin (bps) sejak Juli hingga Oktober 2019. Hal ini sejalan dengan prakiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil investasi keuangan domestik yang tetap menarik.
Otoritas moneter itu juga mengambil langkah pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Pertama, meningkatkan kapasitas penyaluran kredit perbankan melalui pelonggaran pengaturan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)/RIM Syariah.
Kedua, mendorong permintaan kredit pelaku usaha melalui pelonggaran ketentuan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV). Menambah keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit properti dan uang muka Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang berwawasan lingkungan, seperti motor atau mobil listrik.
Dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah berfokus pada peningkatan kualitas belanja dan program prioritas. Pemerintah juga mengantisipasi potensi pelebaran defisit fiskal dan mempertimbangkan beberapa opsi pendanaan yang dapat diambil.
Opsi pendanaan itu baik yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman tunai, maupun penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). “Dalam hal ini, pemerintah akan mengedepankan prinsip efisiensi dan kehati-hatian dalam pengelolaan utang, dengan tetap mengendalikan rasio utang dalam batas aman,” demikian dikutip.
(Baca: Luncurkan Buku KSK, Gubernur BI Paparkan Kondisi Keuangan 2018)
Untuk melengkapi insentif fiskal dan moneter, OJK menegaskan bakal terus mengoptimalkan kontribusi sektor jasa keuangan dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Caranya, dengan memperhatikan ketahanan sektor jasa keuangan.
Kemudian, terus memantau transmisi kebijakan moneter di pasar dan lembaga jasa keuangan. Lalu, mempertajam kebijakan dan insentif terkait pendalaman pasar, peningkatan akses keuangan, pemberdayaan UMKM dan masyarakat kecil.
Merespons tren penurunan suku bunga simpanan, LPS menurunkan tingkat bunga penjaminan pada bank umum dan BPR masing-masing 25 bps menjadi 6,5% dan 9% untuk rupiah. Sedangkan untuk valuasi asing (valas) menjadi 2% pada periode September 2019.
(Baca: PMA Triwulan I-2019 Turun, Menkeu: Prospek Indonesia Masih Positif)