Sengkarut Izin dan Pemasaran Megaproyek Meikarta

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Yuliawati
Editor: Yura Syahrul
7/10/2017, 09.00 WIB

Grup Lippo terus menggarap megaproyek Meikarta. Selain gencar memasarkan proyek kota baru di Cikarang, Jawa Barat itu kepada masyarakat, pembangunan fisik proyek tersebut juga tengah berjalan. Padahal, proyek senilai Rp 278 triliun itu masih terbelit masalah perizinan.

Saat Katadata mendatangi lokasi proyek itu, medio September lalu, terlihat puluhan truk besar membawa gundukan tanah berlalu-lalang di sepanjang jalur Desa Cibatu, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi.

Suara alat bor terdengar nyaring dari jarak 100 meter. Beberapa mesin berbendera "Borland" dan "Caisson Dimensi" itu sedang digunakan untuk memasang tiang pancang.

"Pengerjaannya dari pagi sampai malam tak berhenti," kata Sumeri, warga yang tinggal di dekat lokasi proyek.Bersama 20 kepala keluarga, pria berusia 56 tahun ini memilih bertahan tinggal di sekitar lokasi proyek dan menampik tawaran pembelian lahan dari PT Lippo Cikarang Tbk.

Selama puluhan tahun mereka menggarap lahan tidur untuk bertani dan menanam palawija. Namun, sejak Bulan Ramadan lalu, Lippo membangun tembok pembatas setinggi dua meter untuk memisahkan pemukiman penduduk dengan lokasi proyek.

Tak hanya aktivitas pembangunan fisik di lapangan, sejak Mei lalu Lippo aktif memasarkan Meikarta, baik lewat penawaran langsung oleh ribuan agen pemasaran maupun iklan massif di berbagai media massa dan papan reklame.

Grup Lippo berambisi membangun kota baru dengan mendirikan 100 gedung untuk apartemen dan perkantoran. Pembangunan menara apartemen ditargetkan selesai akhir tahun depan dan siap huni pada 2019.

Di balik gegap gempita penawaran dan iklan Meikarta, masih terdapat berbagai persoalan yang mengganjal proyek tersebut. Katadata dan Hukumonline berkolaborasi menganalisis rangkaian proses dalam proyek calon kota baru ini.

Menyalahi aturan tata ruang
Puluhan tahun sebelum proyek Meikarta, Lippo Cikarang mengantongi izin pencadangan tanah untuk kegiatan industri. Izin itu beralaskan Surat Bupati Bekasi Nomor: 593/2684/Bappeda pada 10 Agustus 1994 tentang permohonan konfirmasi pencadangan tanah.

Selanjutnya lewat Surat Gubernur Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.576-PEM.UM/94 pada 29 Maret 1994, Lippo mendapat persetujuan lokasi, penggunaan dan izin pembebasan tanah seluas 3.250 hektare (ha).

Belakangan, Pemerintah Kabupaten Bekasi mengubah rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Pemkab Bekasi terakhir kali memperbarui RTRW untuk periode 2011-2031 yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011.

Dalam RTRW terbaru itu, Pemkab Bekasi membagi menjadi empat wilayah pengembangan (WP), yakni kawasan Bekasi bagian tengah (WP I), Bekasi bagian selatan (WP II), Bekasi bagian timur (WP III), dan Bekasi bagian Utara (WP IV). Tak ada penyebutan kawasan Lippo Cikarang dalam RTRW tersebut.

Setelah enam tahun menyelesaikan RTRW, Pemkab Bekasi menyelesaikan pembahasan zonasi kawasan dalam rancangan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Rancangan RDTR ini mulai dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi pada April 2017.

Hanya dalam kurun satu bulan, Panitia Khusus DPRD merampungkan RDTR itu. Lewat sidang paripurna pada 10 Mei 2017, DPRD menyetujui sebagai rancangan peraturan daerah RDTR.

“Kami tak perlu membahas terlalu lama karena teknis perencanaan tata ruang telah disusun pemerintah,” kata anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Yudi Darmansyah.

Berbeda dengan RTRW, rancangan RDTR mengatur wilayah lebih detail. Berdasarkan dokumen rancangan RDTR yang dimiliki Katadata, Lippo Cikarang sudah masuk di wilayah pengembangan I di wilayah Cikarang Selatan. Lahan Lippo Cikarang itu berada di tiga desa: Desa Cibatu, Desa Sukaresmi, dan Desa Serang.

Dokumen RDTR Kabupaten Bekasi untuk Wilayah Pengembangan I Cikarang Selatan, Bekasi yang memuat Kawasan Lippo Cikarang dan bakal digunakan megaproyek Meikarta. (Pemkab Bekasi, Katadata) 

Reporter: Dimas Jarot Bayu, Asep Wijaya, Amrie Hakim (Hukumonline)