Musim Ribut Impor Beras

ANTARA FOTO/Rahmad
Tumpukan beras di Gudang Bulog di Lhokseumawe, Aceh, 31 Januari 2018.
8/2/2018, 15.50 WIB

Siapa salah?

Sorotan kini tertuju kepada Bulog, yang dipersalahkan karena dinilai tidak maksimal menyerap beras saat panen raya yang berpuncak pada Maret tahun lalu. Dari tingkat ideal 70 persen, penyerapan hanya berhasil 42 persen.

Kondisi itu kontras dengan data panen yang melimpah, seperti dilansir Kementerian Pertanian. Disebutkan bahwa produksi gabah kering giling mencapai 81,3 juta ton atau 40 juta ton setara beras. Berhubung kebutuhan nasional hanya 32 juta ton beras setahun, maka ada surplus delapan juta ton.

Tapi, tampaknya perlu kehati-hatian ekstra dalam memaknai data ini. Sebab, sejak lama diduga terjadi over-estimate atas taksiran jumlah produksi beras.

(Baca juga: Estimasi Kementan Dinilai Berlebihan, BPS Cek Ulang Produksi Beras)

Sebuah laporan yang disusun oleh Suwandi Sastrotaruno dan Choiril Maksum pada 2002—dua tahun kemudian menjabat Kepala BPS—pernah menyebutkan, kelebihan taksiran itu mencapai 17 persen. Ada dugaan lain, angkanya bahkan jauh lebih tinggi.

Salah satu penyebabnya, ketidakakuratan data luas lahan tanam dan panen yang merupakan komponen dalam pengukuran produksi beras. Faktor lain yang juga perlu diperhitungkan adalah soal buruknya kualitas sebagian gabah dan beras yang dihasilkan.

Adanya kedua faktor itu tentu membuat jumlah riil produksi beras yang tersedia dan bisa diserap oleh pasar dan Bulog menjadi berkurang. Pernyataan Kepala Bulog Djarot Kusumayakti menyiratkan adanya problem itu.

(Baca juga: Siapa yang Menanggung Rugi Kalau Bulog Beli Gabah di Atas HPP?)

Sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015, beras yang bisa diserap Bulog memang harus memenuhi sejumlah persyaratan. Di antaranya, kadar air tidak boleh lebih dari 14 persen dan butir patah maksimal 20 persen.

Sejumlah kalangan sesungguhnya sudah memberikan “warning” soal ancaman buruknya kualitas gabah/beras yang akan dihasilkan, ketika terbetik kabar Kementerian Pertanian berusaha meningkatkan produksi sepanjang tahun secara “paksa”, termasuk dengan melibatkan aparat militer.

( ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)

Selain menyalahi siklus musim tanam, cara ini dianggap akan merusak hara tanah dalam jangka panjang karena tidak memberi jeda masa tanam. Kondisi ini diperparah dengan ketidaksiapan penambahan mesin pengering gabah untuk mengimbangi panen yang melimpah. Akibatnya,  beras berkualitas buruk menumpuk, tak terserap.

Selain soal kualitas, ruang gerak Bulog dalam menyerap beras juga dibatasi oleh harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 7.300 per kg. Meski pada Agustus Bulog kemudian diberi kelonggaran harga pembelian 10 persen lebih tinggi menjadi Rp 8.030 per kg, nilainya masih jauh di bawah harga beras di tingkat petani yang sudah di atas Rp 9.000 per kg.

Dengan disparitas itu, petani tak tertarik menjual hasil panennya ke Bulog. Akibatnya, penyerapan oleh Bulog tidak bisa maksimal. Lagi pula, stok Bulog ketika panen raya pada Maret tahun lalu masih tinggi (hampir 2 juta ton). Penyimpanan berlebihan akan menimbulkan beban biaya yang tidak kecil bagi Bulog.

Kekurangan Pasokan

Yang menarik, data stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan pengadaan beras oleh Bulog pada periode setelah panen raya di tahun lalu (April-Juni 2017) memiliki pola yang sama, yakni terendah dalam tiga tahun terakhir.

Proporsi pasokan Bulog pun biasanya hanya 10-30 persen terhadap total stok beras yang ada di PIBC. Ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya memang terjadi kekurangan pasokan beras di pasar. Jadi, tidak melimpah seperti diklaim oleh Kementerian Pertanian.

Itu sebabnya, sejak Oktober lalu sudah ada suara—termasuk di kalangan pemerintah—yang mengusulkan impor beras perlu segera dilakukan. Berhubung, pada Februari sudah akan memasuki masa panen raya.

Namun, pemerintah tampaknya masih yakin bahwa beras melimpah. Yang dipandang sebagai sumber masalah adalah penimbunan beras. Karena itu, upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian yang dikedepankan. Tapi kenyataannya, tak ada hasil spektakuler dari hasil perburuan itu yang bisa menguatkan asumsi adanya penimbunan besar-besaran.

Lagi pula, melihat harga beras yang sudah tinggi sejak awal 2017 dan terus meningkat sejak pertengahan tahun, kecil kemungkinan kenaikan harga disebabkan oleh ulah para penimbun. Beras merupakan komoditas yang tidak bisa bertahan sangat lama di gudang.

Yang terjadi, kenaikan harga beras justru turut dipicu oleh adanya kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET), yang membuat pasokan beras di pasar kian seret. Apalagi beras oplosan pun tidak lagi leluasa beredar karena diburu aparat.

Untuk memutus mata rantai kenaikan harga beras ini, operasi pasar perlu dilakukan pemerintah. Karena itu, kecukupan cadangan beras di Bulog menjadi sangat penting. Dan impor menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

(Baca pula: Harga Beras Tinggi, Angka Kemiskinan Terancam Naik).

Ini memang bukan pilihan ideal. Tapi membiarkan harga beras terus melambung akan menyengsarakan rakyat miskin. Seperempat penghasilan orang miskin digunakan untuk membeli beras dan tiga perempat orang miskin adalah net-consumer beras (mengkonsumsi beras lebih banyak dari yang diproduksinya).

Perlu dicatat juga bahwa sebanyak 35 persen rumah tangga petani (14 juta) hanyalah petani gurem yang cuma punya lahan kurang dari seperempat hektare. Bahkan lainnya hanya buruh tani. Karena itu, mereka pun merupakan konsumen beras yang terpukul jika harga beras tinggi.

Keributan pada 2006 menjadi contoh buruk yang jangan sampai terulang. Larangan impor beras oleh DPR saat itu membuat harga beras melejit 33 persen (Februari 2005-Maret 2006). Angka ini jauh di atas kenaikan harga komoditas makanan lainnya sekitar 16,5 persen sebagai dampak dari kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 114 persen.

Menurut studi Bank Dunia, adanya selisih kenaikan harga beras yang lebih tinggi 16,5 persen dibanding inflasi makanan lainnya itu telah berdampak pada penambahan jumlah orang miskin sebanyak 3,1 juta orang.

Hal itu sesungguhnya tak perlu terjadi jika saja kenaikan harga beras bisa direm. Sebab, dampak dari kenaikan harga BBM itu sendiri telah diredam oleh pemberian Dana Bantuan Langsung Tunai kepada rakyat miskin.

Berkaca pada pengalaman pahit itu, para politisi hendaknya tak lagi bermain api dengan isu impor beras, sebab pertaruhannya adalah nasib jutaan rakyat miskin. Pemerintah pun selayaknya tidak mudah terjebak dalam jargon semu swasembada yang menyesatkan, meski perlu selalu waspada terhadap para pemburu rente impor beras.