Skandal Meikarta yang Menggoyang Pohon Bisnis Grup Lippo

123rf.com | Ioulia Bolchakova
Editor: Yura Syahrul
23/10/2018, 06.00 WIB

Menyusutnya pendapatan dan laba bersih sejumlah perusahaan diperburuk oleh beban utang yang tinggi. Akibatnya, kemampuan perusahaan membayar utang melalui hasil pendapatan operasional semakin melemah.

Indikator yang bisa digunakan adalah rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA). Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan melunasi utangnya. Makin tinggi rasio utang terhadap EBITDA maka bakal semakin berat beban perusahaan untuk melunasi kewajibannya.

Ada tiga emiten Grup Lippo yang menanggung beban utang besar dengan rasio tinggi. LPKR memiliki utang terbesar dengan nilai Rp 13,8 triliun. Sedangkan rasio utang terhadap EBITDA sebesar 7,32 kali. Artinya, beban utang yang ditanggungnya 7,3 kali lebih besar dibandingkan perolehan profitnya.

Rasio ini terus meningkat dalam empat tahun terakhir, yaitu pada 2014 sempat menyentuh rasio terendah sebesar 2,6 kali. (Baca: Daya Tahan Enam Perusahaan Grup Lippo Menanggung Utang

Sementara itu, dengan kerugian yang diderita MLPL dan MPPA, kedua perusahaan ini masih harus menanggung beban utang tinggi yaitu masing-masing Rp 5,2 triliun dan Rp 1,4 triliun. Alhasil, rasio utangnya negatif: MLPL minus 4,9 kali dan MPPA minus 1,2 kali. Ini akan semakin menyulitkan perusahaan untuk melunasi utangnya.

Potensi Kebangkrutan

Secara umum, kondisi keuangan yang memburuk dan beban utang besar menjadikan perusahaan-perusahaan Grup Lippo kesulitan secara likuiditas jangka pendek dan menengah. Ujungnya, hal ini mengancam keberlangsungan usaha.

Rasio yang sering digunakan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan adalah Altman Z-score. Jika skor Z di bawah 1,8, maka probabilitas perusahaan mengalami kebangkrutan sangat tinggi. Sementara skor di atas 3 berarti probabilitas bangkrut sangat kecil.

Berdasarkan analisis Katadata terhadap koefisien rasio dari laporan keuangan 2017, beberapa emiten Grup Lippo ternyata memiliki Skor Z Altman yang lebih rendah dari 1,8. Lippo Karawaci misalnya, memiliki skor hanya 1,50 atau probabilitas kebangkrutan yang tinggi.

MPPA bahkan mencatatkan Skor Z Altman hanya 1,44. Adapun, MLPL bahkan hanya mencatat skor sebesar 0,89. Sedangkan LPCK memiliki skor 1,78, sedikit di bawah ambang batas. Berbeda dengan SILO dan LPPF, mengantongi skor yang kuat masing-masing 8,53 dan 10,44.

Meski demikian, hal ini tidak lantas berarti perusahaan akan kolaps. Untuk LPKR misalnya, Moody's memperkirakan kasus dugaan suap memiliki dampak terbatas terhadap keuangan Lippo Karawaci yang merupakan induk di sektor properti.

Peringkat utang Lippo Karawaci di B3 dan prospek negatif yang diberikan Moody's pada September lalu tidak terpengaruh kondisi ini. Sebab, tidak memperhitungkan tambahan aliran kas dari proyek Meikarta maupun Lippo Cikarang.

Pada 18 September lalu, LPKR juga sudah mengumumkan penjualan sahamnya di Bowsprit kepada OUE Limited dan OUE Lippo Healthcare Limited (OUELH). Bowsprit merupakan pengelola aset Dana Investasi Real Estate (DIRE) atau Real Estate Investment Trust (REIT) senilai 202 juta dolar Singapura atau setara Rp 2,18 triliun. Sejumlah gedung seperti Life Tower dan Berita Satu Plaza di Jakarta merupakan salah satu asetnya.

(Baca: : Tiga Raksasa Properti Terseret Masalah Akibat Terpuruknya Rupiah

(Arief Kamaludin | KATADATA)
 

QUE mengambil alih 40% saham Bowsprit Capital Corporation Limited senilai 99 juta dolar Singapura. Sementara anak usaha OUELH, yakni OLH Healthcare Investments Pte Ltd, juga mengakuisisi 10,6% kepemilikan First Reit dari Bridgewater International Limited. Bridgewater merupakan anak usaha yang dimiliki secara tak langsung oleh LPKR. Nilai transaksinya 103 juta dolar Singapura.

Menurut Ketut Budi Wijaya, Presiden Direktur LPKR, prosesnya diharapkan tuntas pada akhir November 2018. Setelah rampung, kepemilikan LPKR di First REIT akan berkurang menjadi 10,6% dari sebelumnya 28,2%. Adapun, likuiditas LPKR akan meningkat dengan penjualan saham tersebut.

Sebelumnya, dalam keterangan resminya, Vice President Head of Corporate Communication Lippo Karawaci Danang Kemayan Jati menyatakan, perusahaan menyayangkan keputusan lembaga pemeringkat rating yang menurunkan peringkat kreditnya. Alasannya, fundamental perusahaan sejatinya tidak banyak berubah.

Meski demikian, LPKR berkomitmen untuk bekerja sama dengan para lembaga pemeringkat untuk menanggapi pendapat konstruktif mereka. LPKR juga menegaskan komitmen untuk memperkuat likuiditas dan neraca perusahaan sehingga memperoleh kembali peringkat sebelumnya dengan prospek stabil.

Untuk Matahari Putra Prima, meski likuiditasnya mengkhawatirkan, Moody's melihat perusahaan tersebut memiliki rekam jejak yang selalu berhasil memperbarui fasilitas pinjaman ketika jatuh tempo. Sebagai contoh, pada Januari 2018, MPPA memperpanjang fasilitas utangnya senilai Rp 300 miliar dengan Bank of China, hingga Januari tahun depan.