Skandal Meikarta yang Menggoyang Pohon Bisnis Grup Lippo

123rf.com | Ioulia Bolchakova
Editor: Yura Syahrul
23/10/2018, 06.00 WIB

Peringatan Lembaga Pemeringkatan

Lembaga pemeringkat global pun langsung mengeluarkan peringatan dampak kasus suap Meikarta terhadap Grup Lippo. Moody's Investor Service menilai, kasus dugaan suap tersebut menjadi sentimen negatif bagi kinerja emiten Grup Lippo, terutama Lippo Karawaci. Kepercayaan investor dan konsumen akan tergerus sehingga penjualan properti di proyek tersebut terancam melambat.

"Kepercayaan konsumen yang jatuh akan menahan penjualan baru di proyek Meikarta sementara ketidakpastian  penyelesaian unit-unit yang dijual bisa menunda atau mengurangi arus kas dari konsumen yang sudah mengikat perjanjian jual beli," kata Analis Senior Moody's Jacintha Poh, dalam laporannya, Kamis (18/10).

Pada 19 September lalu, Moody's sudah menurunkan peringkat kredit Lippo Karawaci dari B2 menjadi B3. Ini adalah level kredit terendah yaitu spekulasi tinggi (highly speculative grade) dengan profil risiko kredit yang tinggi. Pemangkasan rating ini menyusul peringatan Moody's sebelumnya yang mengkhawatirkan kinerja operasi dan likuiditas perusahaan. Alhasil, Moody's juga menyematkan prospek "Negatif" untuk Lippo Karawaci.

Penurunan peringkat mencerminkan ekspektasi Moody's bahwa arus kas operasional Lippo Karawaci di tingkat perusahaan induk akan melemah lebih lanjut dalam 12-18 bulan ke depan. "Kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban utangnya akan bergantung pada kemampuannya mengeksekusi aset penjualan, " ujar Poh.

(Baca:  Bisnis Grup Lippo Terseret Masalah Keuangan Lini Properti

Meikarta - Luhut ( ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
 

Pada 25 April 2018, Moody's lebih dulu menurunkan peringkat kredit Lippo Karawaci dari B1 menjadi B2 dengan prospek negatif. Selain itu, memangkas rating obligasi Theta Capital Pte Ltd, anak usaha sayap bisnis properti Grup Lippo, dari B1 menjadi B2, dengan prospek negatif.

Pada 11 April lalu, Moody's sudah memperingatkan, sedang mengkaji penurunan rating Lippo Karawaci setelah perusahaan terlambat melaporkan kinerja keuangan 2017 dan gagal memenuhi kewajiban pelaporan khusus dalam penerbitan pinjaman berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS).

Senin (8/10) lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga menjatuhkan sanksi peringatan tertulis terhadap LPKR dan LPCK  karena belum menyampaikan laporan keuangan audit tengah tahun 2018.

Moody's melihat, arus kas operasional LPKR di tingkat perusahaan induk akan terus negatif dalam kurun 12-18 bulan ke depan. Perhitungan arus kas total konsolidasi ini tidak termasuk arus kas dari anak usaha Siloam International dan Lippo Cikarang, namun melingkupi arus kas antarperusahaan seperti dividen dan hasil penjualan aset.

Lembaga pemeringkat internasional lainnya, Standard & Poor's (S&P) Global Ratings juga menilai, kasus dugaan suap ini menimbulkan pertanyaan mengenai tata kelola internal perusahaan. Apalagi, Lippo Karawaci dinilai memiliki penyangga likuiditas yang tipis.

S&P berpendapat, bakal ada dampak kasus dugaan suap terhadap kemajuan dan arus kas proyek Meikarta. Ini berujung pada tekanan lebih lanjut terhadap likuiditas perusahaan.

(Baca: Empat Korporasi Besar Terbelit Masalah Pelemahan Kurs Rupiah)

"Lippo mungkin perlu menyuntik modal jika proyek tidak mampu didanai sendiri secara mandiri dan membutuhkan lebih banyak modal," seperti dikutip dari laporan S&P, Kamis.

S&P menilai, penjualan aset Lippo akan memberi tambahan likuiditas sementara untuk perusahaan. Namun, S&P yakin perusahaan akan terus menghadapi tekanan likuiditas karena penjualan aset hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang selama satu tahun ke depan.

Tumpukan Masalah di Anak Usaha

Lippo Karawaci memang salah satu pilar kelompok usaha yang didirikan Mochtar Riady tersebut. Ada dua lini usaha utama Grup Lippo. Pertama, sektor properti yang dimotori oleh Lippo Karawaci dengan dua anak usaha besarnya yaitu Lippo Cikarang dan Siloam International Hospitals yang bergerak di bidang jasa rumah sakit.

Kedua, lini usaha retail yakni Matahari Putra Prima dan Matahari Department Store yang bernaung di bawah induk usaha (holding) bidang investasi yaitu Multipolar.

Bisnis retail ini pun tak lepas dari masalah. Moody's sudah menurunkan peringkat MPPA dari B2 menjadi B3. Menurut Analis Moody's Maisam Hasnain, penurunan peringkat ini mencerminkan peningkatan risiko likuiditas dan berkurangnya fleksibilitas keuangan.

Dengan laba negatif dan utang meningkat, profil kredit MPPA terus melemah karena mengeksekusi strategi transformasi untuk menghidupkan operasi, termasuk diskon harga yang curam dan rasionalisasi inventaris. Tapi, manfaat potensial masih harus direalisasikan.

Sebelumnya, MPPA berencana menerbitkan saham baru (rights issue) senilai Rp 802 miliar pada April 2018 untuk mendanai modal kerja. Namun, Moody's memperkirakan aksi korporasi itu kemungkinan akan tertunda.

"Tanpa rights issue, kami melihat MPPA akan mengandalkan utang untuk membiayai operasinya," kata Maisam. Akibatnya, leverage MPPA, yang diukur dengan utang yang disesuaikan untuk EBITDA, akan meningkat menjadi sekitar 7-8 kali pada akhir tahun ini. Tingkat seperti ini tidak dapat mendukung peringkat B3 perusahaan retail tersebut.

Moody's juga memperkirakan likuiditas MPPA akan semakin melemah, jika rights issue tertunda. Sebab, proyeksi kas dari operasi perusahaan kemungkinan akan tetap negatif hingga akhir tahun ini.

Bahkan, jika right issue berhasil meraup dana Rp 802 miliar sesuai yang direncanakan, Moody's memperkirakan, MPPA tidak akan memiliki cukup uang untuk membiayai operasinya, melunasi utang jatuh tempo terjadwal dan belanja modal.

(Baca: Moodys: Kasus Meikarta Makin Menekan Likuiditas Lippo Karawaci)

Analisis Katadata terhadap laporan keuangan emiten Grup Lippo, nilai penjualan keenam perusahaan mesin uang Grup Lippo tersebut mengalami tren penurunan selama lima tahun terakhir. LPCK, MLPL, dan MPPA mencatatkan pertumbuhan penjualan yang negatif tahun lalu. Sedangkan LPKR, SILO, dan LPPF masih meraih pertumbuhan positif, namun jauh melambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

LPKR misalnya, mencatatkan penjualan Rp 10,9 triliun pada 2017, atau hanya tumbuh 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, pada 2016, perusahaan properti ini mampu mencetak pertumbuhan penjualan 23,5%.

Di sektor retail, LPPF juga mengalami kondisi yang sama. Penjualannya tahun lalu hanya tumbuh 1,3%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 9,9%.

Meski masih meraup keuntungan, dua emiten properti Grup Lippo yakni LPKR dan LPCK menderita penurunan laba bersih dibanding tahun sebelumnya. LPCK membukukan laba bersih Rp 366,8 miliar pada 2017 atau merosot 32% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan laba bersih LPKR tahun lalu sebesar Rp 715,3 miliar atau turun 18,8%.