Jejak Adaro dan Transisi Energi Hong Kong

Metta Dharmasaputra|KATADATA
Kompleks PLTU Castle Peak Power Station
Penulis: Metta Dharmasaputra.
Editor: Yura Syahrul
15/7/2019, 17.50 WIB

JANUARI 2017. Pemerintah Hong Kong memacak tekad. Negeri bertabur lampu itu mencanangkan program gerakan transisi energi dan penurunan emisi karbon, yang dituangkan dalam peta jalan bernama Hong Kong’s Climate Action Plan 2030+.

Rencana aksi menghadapi perubahan iklim itu dirancang sebagai tindak lanjut dari Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang berlaku efektif November 2016. Persetujuan dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris pada akhir 2015.

Gerakan kolektif global ini bertujuan menahan kenaikan suhu global agar tidak melebihi dua persen di atas masa pra-industri. Untuk itu, dibutuhkan penurunan emisi karbon 40-70 persen hingga 2050.

Hong Kong bergerak cepat dan menjalankan programnya secara terencana, terukur dan konsisten. Mereka mematok target ambisius pada 2030. Reduksi intensitas karbon ditargetkan turun bertahap 50-60 persen pada 2020 dan 65-70 persen pada 2030—berbasiskan tahun 2005

Penurunan sebesar itu setara dengan reduksi emisi karbon absolut sebesar 20 persen pada 2020 dan 26-36 persen pada 2030. Jika itu tercapai, maka emisi karbon per kapita pun susut dari 6,2 ton pada 2014 menjadi kurang dari 4,5 ton pada 2020, dan 3,3-3,8 ton pada 2030.

Energi Pembangkit Listrik

Untuk mengejar target itu, pemerintah Hong Kong segera berbenah. Low carbon life style pun dikampanyekan. Masyarakat didorong untuk lebih giat berjalan kaki, bersepeda dan menggunakan transportasi publik, khususnya kereta listrik, ketimbang mobil pribadi. Pertumbuhan mobil dikontrol.

Menyangkut pemanfaatan energi, pengaturan soal listrik menjadi fokus utama. Green building atau bangunan ramah energi digalakkan. Mengingat, 90 persen listrik dikonsumsi untuk menerangi gedung-gedung.

Terkait dengan itu, peta jalan energi pembangkit listrik juga disusun. Sebab, ketika Rencana Aksi 2030 itu dilansir, sekitar 70 persen emisi karbon masih berasal dari pembangkit listrik. Sementara, transportasi hanya 16 persen dan sisanya disumbang oleh sampah dan lainnya. Padahal, sejak 1997 tak ada lagi pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

Rencananya, pembangkit listrik secara bertahap akan dialihkan dari bahan bakar batubara ke gas alam cair (LNG). Targetnya, pasokan listrik dari PLTG yang pada 2015 masih sebesar 27 persen, pada 2020 sudah mencapai 50 persen.  

Sebaliknya, porsi pembangkit batubara yang pada 2015 masih sebesar 48 persen akan susut menjadi tinggal 25 persen. Sedangkan sisa 25 persen lainnya akan dipasok dari pembangkit berbahan bakar non-fosil dan energi terbarukan, seperti nuklir, matahari dan angin.

Pembangkit listrik tenaga gas milik CLP Power di Hong Kong (www.clp.com.hk)

Upaya mewujudkan sebuah negeri berenergi bersih memang sebuah keharusan. Namun, pemerintah Hong Kong sadar bahwa dalam pelaksanaannya tak semudah membalik telapak tangan. Perlu bertahap.

Apalagi sebagai salah satu negeri terdepan di Asia di bidang logistik, perdagangan dan finansial, jaminan ketersedian listrik menjadi sebuah keharusan.

Bauran Energi CLP Power

Di negeri ini, listrik dipasok oleh dua perusahaan swasta, yakni CLP Power Hong Kong Ltd. milik keluarga Sir Elly Kadoorie dan Hong Kong Electric Ltd. milik taipan Li Ka-shing. 

Selain memiliki sejumlah pembangkit listrik, CLP juga mengelola jaringan transmisi dan mendistribusikan listrik ke konsumen. Perusahaan yang didirikan pada 1901 dan berbasis di Kowloon ini tercatat sebagai pemasok listrik terbesar.

Layanannya mencakup 80 persen penduduk Hong Kong. Sedangkan sisanya dipasok oleh Hong Kong Electric. Yang mengagumkan, tingkat ketersediaan pasokan listrik yang dijamin oleh CLP Power mencapai 99,999 persen.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik tersebut, CLP memproduksinya dari tiga pembangkit yang dimilikinya.

Pertama, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Castle Peak Power Station di Tuen Mun, Kowloon, yang berkapasitas 4.108 MW. Pembangkit yang dibangun pada1982 ini berbahan bakar batubara. Namun, dapat juga menggunakan bahan bakar minyak dan gas alam sebagai alternatif. 

Kedua, Black Point Power Station berkapasitas 2.500 MW yang juga berlokasi di Tuen Mun. Inilah salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) terbesar di dunia. Ketika pertama kali dioperasikan pada 1996, CLP Power tercatat sebagai pemasok listrik pertama di Hong Kong yang menggunakan pembangkit berbahan bakar gas alam.

Ketiga, Penny’s Bay Power Station di kawasan timur Pulau Lantau. Listrik yang dihasilkan pembangkit berbahan bakar solar ini memang hanya 300 MW. Sebab, peruntukannya sekadar cadangan untuk pemenuhan kebutuhan di kala darurat dan melonjaknya permintaan.

Di luar itu, CLP Power telah menjalin kontrak pembelian 70 persen listrik dari Guangdong Daya Bay Nuclear Power Station yang berkapasitas 1.968 MW. Inilah pembangkit bertenaga nuklir berskala besar pertama di daratan Tiongkok yang dioperasikan secara komersial.

Selain itu, CLP Power memiliki hak atas pembelian 50 persen listrik yang dihasilkan oleh the Guangzhou Pumped Storage Power Station dengan kapasitas 2.400 MW. Hak ini dipegangnya selama 40 tahun berkat kepemilikannya di Hong Kong Pumped Storage Development Company Ltd.

Guangdong Daya Bay Nuclear Power Station (www.clp.com.hk)

Strategi bauran energi dan diversifikasi bahan bakar ini sesungguhnya sudah diadopsi CLP Power sejak lama. Itu sebabnya, CLP menjadi perusahaan listrik pertama di Hong Kong yang menggunakan gas alam.

Pembangkit bertenaga nuklir pun dipandang memberikan manfaat signifikan dalam upaya menghadapi perubahan iklim. Menurut catatan mereka, berkat impor listrik dari PLTN Guangdong Daya Bay, setidaknya telah terjadi penurunan emisi karbondioksida lebih dari 100 juta ton selama dua dekade terakhir.

CLP Power juga menyebutkan, tingkat emisi bisa diturunkan lebih dari 85 persen sejak 1990. Padahal, di periode yang sama permintaan listrik justru meningkat 80 persen.