Singapura Melangkah ke Industri 4.0 untuk Pulihkan Ekonomi (Bagian 2)

123RF.com/Le Moal Olivier
Pertumbuhan ekonomi Singapura pada tahun ini diperkirakan hanya mencapai nol persen hingga 1% akibat perang dagang. Negara ini berstrategi untuk masuk ke industri 4.0.
Penulis: Sorta Tobing
31/10/2019, 19.30 WIB

Tangan robot itu bergerak memilah-milah produk yang sesuai dengan pesanan konsumen ke dalam kantong belanja berwarna coklat. Geraknya lambat dan hati-hati. Tak lebih dari dua meter dari keberadaanya, seorang teknisi merangkap operator memonitor seluruh proses yang terjadi.

Robot tersebut hanya satu dari puluhan produk yang tampil dalam pameran Industrial Transformation Asia Pacific 2019. Ajang unjuk teknologi yang berlangsung selama dua hari ini berlangsung di Singapore EXPO & MAX Atria.

Katadata.co.id berkesempatan langsung melihat pembukaan acara tersebut pada Selasa (22/10). Sebanyak tiga aula di lokasi yang dekat dengan Bandar Udara Internasional Changi, Singapura itu penuh dengan 266 peserta pameran dari 23 negara.

Satu aula luasnya mencapai tiga kali ukuran lapangan sepak bola. Begitu banyak, sampai satu hari rasa-rasanya tak cukup untuk mengunjungi setiap peserta. Ada perusahaan multinasional Siemens, Beckhoff, Schneider Electric, Intel, Accenture, Microsoft, dan Yokogawa yang berpartisipasi dalam pameran itu.

Di sana, pengusaha manufaktur dan penyedia solusi saling bertemu dan bertukar pikiran dalam menghadapi revolusi industri keempat atau industri 4.0. “Otomatisasi akan berdampak pada semua sektor di Asia dan sebanyak 43% akan terjadi di Asia Tenggara,” ujar Doktor Thomas Koch, Senior Partner McKinsey & Company pada saat memberi seminar pada acara tersebut.

Industrial Transformation Asia Pasific 2019 (situs Industrial Transformation Asia Pacific 2019)

Sudah dua kali Singapura mengadakan acara serupa. Bekerja sama dengan Hannover Messe, pemerintah setempat merasa penting menghadirkan potensi industri 4.0. Apalagi negara itu sedang mengalami perlambatan ekonomi akibat perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok. Pertumbuhan ekonominya diperkirakan hanya mencapai nol hingga 1% pada tahun ini.

Sektor manufakturnya terpuruk dengan pertumbuhan 0,1% secara tahunan pada September 2019. Padahal kontribusi dari sektor ini mencapai 22% terhadap produk domestik bruto. Perang tarif AS dan Cina membuat permintaan produk manufaktur Singapura yang sebagian besar untuk ekspor pun melemah.

(Baca: Perayaan Dua Abad di Tengah Lesunya Ekonomi Singapura (Bagian 1))

Seperti terlihat pada grafik Databoks di bawa ini, produk bahan kimia, manufaktur umum, dan elektroniknya masih mengalami perlambatan.

Perang dagang menjadi momen bagi negara berpenduduk 5,6 juta jiwa itu untuk bertranformasi. Sudah menjadi keniscayaan sektor manufakturnya harus mengikuti perkembangan teknologi. Bukan sekadar memakai robot, tapi bagaimana memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), internet of things (IoT), data, dan komputasi awan (cloud computing).

“Digital akan penting dalam lima dan 10 tahun lagi. Ini sebuah kesempatan,” kata Direktur Future Economy Programme Office Singapura Tan Lin Teck.

Apa yang Dilakukan Singapura Menuju Industri 4.0?

Berbagai inisiatif telah pemerintah Singapura lakukan untuk mempercepat digitalisasi masuk ke dalam ekonominya. Mereka sedang menyiapkan perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dalam bidang ekonomi digital, terutama soal pemanfaatan data.

Negara yang telah dilirik untuk FTA itu adalah Selandia Baru dan Chille. Tapi prosesnya masih antar pemerintah dengan pemerintah. Harapannya, kerja sama ini akan berlangsung ke level bisnis ke bisnis.

Pemerintah di sana juga membentuk ekosistem untuk mendukung perusahaan rintisian atau startup. Pasalnya, kontribusi usaha kecil dan menengah hampir mencapai 50 persen dari PDB Singapura. Bentuk dukungan pemerintah itu adalah memberikan akreditasi, mencakup urusan teknis, finansial, dan operasional.

(Baca: Siapa Peternak Startup Terbesar di Asia Tenggara?)