Catatan dari Xinjiang (1): Kembalinya Kejayaan di Jalur Sutra

123RF.com/sermax55
Editor: Redaksi
25/11/2019, 13.45 WIB

Geliat Ekonomi Xinjiang

Tak mudah tentu mengelola wilayah Xinjiang yang luas dan jauh dari Beijing, ibu kota Tiongkok. Seperti diakui oleh Arken Tuniyazi, kemiskinan menjadi salah satu persoalan utama yang dihadapinya.

Berkebalikan dengan Indonesia, perekonomian Tiongkok bagian barat memang sempat jauh tertinggal. Reformasi kebijakan ekonomi-politik Tiongkok yang digulirkan oleh Deng Xiao Ping pada 1978, memang bermula dan terkonsentrasi di kawasan timur.

Saat itu, kebijakan Pintu Terbuka, yang meliberalisasi perdagangan dan membuka pintu investasi asing ke Tiongkok, dimulai dari Shenzhen. Berkat kebijakan itu, kota nelayan miskin yang berbatasan dengan Hong Kong ini dalam waktu singkat menjelma menjadi kota teknologi dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

Pertemuan Garibaldi Thohir dan Wakil Gubernur Xinjiang Arken Tuniyazi serta pejabat provinsi Xinjiang lainnya. (Katadata/Metta Dharmasaputra)


 

Untuk mengejar ketertinggalan itu, maka dalam satu dasawarsa terakhir, pembangunan Tiongkok lebih diarahkan ke bagian barat. Xinjiang menjadi salah satu prioritas. Mengingat, letaknya yang berbatasan dengan banyak negara, rawan secara politik. Wilayah ini kerap digempur isu diskriminasi etnis, separatisme, hingga aksi terorisme.

Berkat pembangunan yang terus dipompa itu, wajah Xinjiang kini sudah jauh lebih mengilap dan moderen. Gedung pencakar langit dengan lampu warna-warni memenuhi jalan-jalan utama di Urumqi.

(Baca: Proyek OBOR Tiongkok: Kontroversial di Asia, Didukung Arab dan Rusia)

Roda pembangunan terus digerakkan. Pameran di Xinjiang International Convention and Exhibition Center mempertontonkan itu semua. Di distrik Dushanzi, misalnya, sebuah kawasan industri petrokimia seolah tak pernah tidur dan terus berproduksi.

Ratusan turbin atau kincir angin pun terus berputar di Dabancheng untuk menghasilkan listrik dari Pembangkit Tenaga Bayu. Sebuah proyek raksasa pembangkit listrik tenaga surya pun dibangun di gurun Taklimakan.

Dalam soal transportasi, untuk kian menghidupkan daerah ini agar tak terisolasi, kereta cepat Hexie Hao yang berarti harmoni, juga sudah dioperasikan. Dari stasiun Urumqi, kereta cepat ini terhubung ke berbagai wilayah lain di Tiongkok.

Tak hanya itu, sebuah kereta barang yang menghubungkan Tiongkok dan Eropa juga dioperasikan dari Xinjiang. Kereta ini mengangkut barang lebih dari 2.000 perjalanan dalam sehari.

Pembangkit listrik tenaga angin di Dabancheng, Xinjiang (123RF.com/Giuseppe Sparta)

Dalam hal sumber daya alam, Xinjiang terbilang kaya dan tanahnya subur. Wilayah ini dikenal sebagai penghasil buah-buahan terbaik di Tiongkok. “Dari sini dihasilkan saus tomat terbaik di dunia,” kata Garibaldi yang kerap disapa dengan Boy Thohir.

Kekayaan tambangnya pun berlimpah. Wilayah ini menempati posisi lima besar provinsi dengan jumlah pertambangan terbesar di Tiongkok, yang mencapai 27 tambang. Termasuk di dalamnya batu bara dan gas.

(Baca: Xiaomi Ungkap Rencana Tambah Investasi di Indonesia)

Boy Thohir dan Wakil Gubernur Xinjiang Arken Tuniyazi (Katadata/Metta Dharmasaputra)



Berkat beragam pembangunan itu, menurut Tuniyazi, ekonomi Xinjiang tumbuh lumayan cepat. Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal ketiga tahun ini mencapai 900 miliar yuan atau sekitar $128 miliar. Angka ini setara dengan setengah PDB Vietnam dan seperdelapan PDB Indonesia setahun.

Dengan capaian itu, PDB Xinjiang hingga kuartal ketiga 2019 naik 6,1%. Hal ini hususnya berkat kenaikan penghasilan penduduk desa yang mencapai 9,8%.