Catatan dari Xinjiang (1): Kembalinya Kejayaan di Jalur Sutra

123RF.com/sermax55
Editor: Redaksi
25/11/2019, 13.45 WIB

Dari ketinggian ribuan kaki, hamparan luas gurun Taklimakan tampak digdaya. Ketika pesawat China Southern yang saya tumpangi bersiap menjejak di bandara internasional Diwopu Urumqi, deretan perbukitan berselimutkan salju nan indah siap menyambut.

Inilah salah satu gurun terluas di dunia yang terletak di Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang, Republik Rakyat Tiongkok. Luasnya mencapai 270 ribu kilometer persegi. Dilingkupi tiga pegunungan, yakni Tian Shan (Utara), Kunlun (Selatan), dan Pamir (Barat).

Xinjiang punya sejarah panjang sejak lebih dari dua ribu tahun lalu. Wilayah di ujung barat Tiongkok ini telah ada sejak 60 tahun Sebelum Masehi di bawah kekuasaan Dinasti Han (206 SM-220 M). Ketika itu, wilayah ini masih bernama Xiyu yang berarti Wilayah Barat.

Kota Urumqi Diselimuti Salju (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Namanya baru resmi berganti menjadi Xinjiang yang berarti “Wilayah Terdepan Baru” saat pemerintah Tiongkok menjadikannya sebuah provinsi pada 1884. Kawasan ini kemudian menjadi wilayah otonomi Uighur Xinjiang di bawah Republik Rakyat Tiongkok yang berdiri pada 1949.

Luasnya yang mencapai 1,66 juta km persegi menjadikannya provinsi terluas di Tiongkok. “Ini hampir setara luas wilayah Indonesia,” kata Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian, dalam jamuan makan malam bersama pemimpin media massa dan Presiden Direktur Adaro Energy, Garibaldi Thohir, sesaat sebelum bertolak ke Tiongkok pada 13 November lalu.

Provinsi ini terdiri atas 14 perfektur dan kota, dengan Urumqi sebagai ibukota. Ia berbatasan langsung dengan delapan negara. Mongolia di timur, Rusia di utara, serta Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Afganistan, Pakistan, dan Kashmir di barat. Tak mengherankan, wilayah ini dihuni oleh multi-etnis, yang kini berjumlah 56 kelompok etnis. 

Dari total penduduk 25 juta jiwa, sebanyak 62% di antaranya merupakan etnis minoritas. Tercatat 13 suku asli, yakni: Uighur, Han, Kazakh, Hui, Uzbek, Kirgiz, Mongol, Tajik, Xibe, Manchu, Rusia, Daur, dan Tartar.

Warga etnis Uighur berjualan roti di Grand Bazaar, Xinjiang. (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Dari suku asli tersebut, Uighur, Kazakh, Hui, Tajik, Uzbek, dan Tartar mayoritas beragama Islam. Populasi etnis Uighur yang terbanyak, yakni 44% (sekitar 11 juta jiwa) penduduk Xinjiang, sementara Kazakh hampir 7% (sekitar 1,75 juta jiwa).

Di kawasan ini pun hidup agama-agama lainnya, seperti Kristen, Buddha, dan Kong Hu Chu. “Yang paling awal adalah Buddha, baru kemudian menyebar ke Tiongkok bagian tengah,” ujar Wakil Gubernur Xinjiang, Arken Tuniyazi, saat menerima kunjungan rombongan Indonesia di Urumqi.

Letaknya yang strategis inilah yang membuatnya sejak dulu menjadi jalur utama perdagangan dunia, yang menghubungkan Timur (Asia) dan Barat (Eropa). Jalur sepanjang 6.437 km ini banyak dilintasi oleh para pedagang, pengelana, biarawan, ataupun prajurit, dan masyur dengan sebutan Jalur Sutra (Silk Road).

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ferdinand von Richthofen, ahli geografi asal Jerman, dalam beberapa kali ekspedisinya ke Tiongkok pada 1868-1872. Sejak 2014, Unesco telah menetapkan jalan kuno yang membentang dari Tiongkok Tengah hingga wilayah Zhetsyu di Asia Tengah ini sebagai situs warisan dunia (world heritage sites).

(Baca: Tiongkok Berambisi Bangun Industri Baja Raksasa & Dorong Konsolidasi)