Faisal Basri menghitung nisbah pajak atau tax ratio pada 2019 hanya mencapai 9,8%, level terendah dalam setengah abad terakhir.
Ia menggunakan perhitungan data Produk Domestik Bruto (PDB) 2019 yang dirilis BPS dan data penerimaan pajak dalam APBN Kita terbitan Kementerian Keuangan edisi Januari 2020. Tax rasio adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan total PDB.
Adapun perhitungan tax ratio yang digunakan adalah versi yang lazim digunakan di dunia bukan versi pemerintah yang memasukkan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam.
Jika penerimaan pajak lebih rendah, pemerintah otomatis harus menambah utang untuk membiayai belanja negara yang terus meningkat.
(Baca: Manufaktur & Pertambangan Lesu, Penerimaan Pajak 2019 Kurang Rp 245 T )
Berdasarkan data APBN Kita, penerimaan pajak pada tahun lalu mencapai Rp 1.332,06 triliun. Adapun shortfall atau kekurangan penerimaan dari target mencapai Rp 245,5 triliun.
Akibatnya, realisasi pembiayaan utang pemerintah hingga akhir tahun lalu membengkak dari target Rp 359,3 triliun menjadi Rp 435,4 triliun. Adapun total utang pemerintah hingga akhir tahun lalu menembus Rp 4.778 triliun, menanjak dari posisi akhir 2018, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
"Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut seharusnya menjadi warning bagi pemerintah yang akan mengobral pajak sebagaimana tertera dalam rancangan omnibus Law perpajakan," ucap Faisal.
Cari Strategi Tambal Penerimaan
Selain insentif, omnibus law sebenarnya juga memuat upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, antara lain melalui pengaturan pajak digital. Namun, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menilai dampaknya terhadap penerimaan belum akan mampu menutup dampak penurunan tarif PPh.
"Sebenarnya di RUU itu ada konsep ekstensifikasi, tetapi tidak akan sebesar kehilangan dari PPh dalam jangka pendek. Hanya saja saya belum dapat menghitung kekurangannya," jelas dia.
Oleh karena itu, ia menilai Ditjen Pajak harus memanfaatkan dengan baik sisa waktu sebelum penerapan tarif PPh menyiapkan strategi guna menambal kekurangan penerimaan pajak.
"Harus dipikirkan matang karena tahun ini saja pemerintah sepertinya akan kesulitan mencapai target penerimaan karena kondisi global, target pajak harus direvisi melalui APBNP," kata dia.
(Baca: Ada Omnibus Law, Penetapan Objek Kena Cukai Tak Perlu Izin DPR)
Adapun menurut dia, terdapat sejumlah masalah krusial yang belum ditampung dalam omnibus law perpajakan. Pertama, pengaturan tarif PPh final. Kedua, kepastian penyelesaian sengketa pajak. Ketika, penyederhanaan prosedur pajak. Keempat, penggunaan nomor induk kependudukan sebagai nomor identitas tunggal guna mempermudah perpajakan.
Sementara itu, Pengamat pajak dari DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menilai omnibus law dalam jangka menengah panjang akan mampu mendorong penerimaan pajak. Sebab, RUU tersebut juga memuat upaya untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, pajak digital, serta memperluas basis cukai yang diharapkan mendatangkan penerimaan.
"Relaksasi tarif dalam jangka menengah-panjang juga dapat meningkatkan basis pajak yang pada akhirnya akan berkontribusi bagi penerimaan pajak di masa mendatang," kata dia.
Bawono pun menilai menu relaksasi dalam omnibus law pajak untuk mendorong investasi sudah cukup lengkap. Namun, ia mengingatkan pajak hanyalah salah satu dari sekian faktor yang berpengaruh bagi perilaku usaha. Masih banyak komponen lain, seperti infrastruktur, birokrasi, ketenagakerjaan, dan sebagainya yang turut berpengaruh.
"Dengan kata lain, adanya omnibus law perpajakan juga harus diiringi dengan pembenahan di area lain," jelas dia.