Global Bond Disarankan untuk Pemulihan Pandemi Corona, Bukan Sekarang

Global bond Indonesia memang mendapat respons positif dari investor global. Hasilnya juga membantu dalam meredam pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika. Namun CORE punya pendapat berbeda. Global bond sebaiknya diterbitkan untuk pemulihan pandemi corona, bukan saat ini. Yang direkomendasikan saat ini yaitu surat utang domestik alias dalam rupiah yang bisa dibeli Bank Indonesia (BI).

CORE menyatakan terdapat empat risiko yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mencari pembiayaan anggaran. Dari sisi perundangan, pemerintah mengubah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lewat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020.

Defisit anggaran pun melonjak dari Rp 307,23 triliun atau 1,76% terhadap PDB menjadi Rp 852,94 triliun atau 5,07% terhadap PDB.  Artinya, kebutuhan pembiayaan utang dan pinjaman naik nyaris tiga kali. Perubahan ini untuk menangani dampak serangan virus corona.

Risiko pertama, dominasi kepemilikan asing pada surat utang alias Surat Berharga Negara (SBN). SBN jadi salah satu sumber pembiayaan defisit. Sayangnya, penerbitan SBN masih sangat bergantung pada investor asing. Sebesar 35 – 40 % SBN domestik dipegang investor asing, lebih besar dibandingkan surat utang negara-negara setara seperti Thailand dan Malaysia.

“Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran sangat rentan terhadap keluarnya modal secara tiba-tiba,” demikian dikutip dari analisis tertulis CORE. Contoh teranyar yakni pelarian dana asing yang mencapai ratusan triliun sepanjang tahun ini. Dampaknya, kurs rupiah melemah. Sedangkan imbal hasil alias yield SBN meningkat dan biaya penerbitannya di masa mendatang menjadi lebih besar.

Tenor SBN RupiahYield (%)Kenaikan sepanjang tahun (basis poin)
2 Tahun6,4568,3
5 Tahun7,58114,3
10 Tahun8,14107,4

Sumber: Asia Bonds Online, data per 7 April 2020

Risiko kedua, perebutan dana masyarakat alias crowding out. Penerbitan SBN akan menyerap banyak likuiditas dari perbankan. Swasta akan semakin sulit menggali sumber pembiayaan dari dalam negeri. Kalaupun mencari sumber dana dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang, mereka harus menawarkan surat utang dengan kupon yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.  

(Baca: Perbankan di Bawah Bayang-bayang Krisis Imbas Pandemi Corona)

Risiko Ketiga, peningkatan utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun. “Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89 % utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS,” demikian tertulis.

Dengan risiko-risiko tersebut, CORE merekomendasikan pemerintah untuk mendahulukan penerbitan SBN domestik berdenominasi rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh BI. Penerbitan global bond di tengah kondisi ini akan memaksa pemerintah meningkatkan insentif berupa kupon yang lebih tinggi dan atau tenor yang sangat panjang. Itu terbukti dengan diterbitkannya global bond bertenor 50 tahun baru-baru ini.

“Penerbitan SBN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon SBN yang lebih rendah dengan tenor yang wajar,” demikian analisis mereka. Dengan begitu, pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran tinggi bunga SBN dalam kurun waktu yang panjang.

Meskipun kurs rupiah dalam tekanan pelemahan, CORE menilai pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah pasokan dolar dengan menerbitkan global bond. Sebab, posisi cadangan devisa relatif masih cukup besar untuk membiayai intervensi BI dalam rangka stabilisasi kurs. Selain itu, BI memiliki bantalan devisa alias second line of defense berupa fasilitas pinjaman dari IMF, perjanjian kerja sama pertukaran mata uang dengan beberapa bank sentral, serta fasilitas Repo Line dari bank sentral AS alias The Fed.

(Baca: Jaga Rupiah, BI Bisa Pinjam Dolar ke Bank Sentral AS hingga US$ 60 M)

CORE merekomendasikan penerbitan global bond dilakukan ketika pandemi corona sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih. Di tengah kebijakan moneter dunia yang cenderung menurunkan suku bunga, penerbitan surat utang global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga yang lebih baik, dengan tenor yang wajar.

Adapun dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah akan menggunakan sumber pembiayaan yang paling aman dan berbiaya paling kecil. Ini akan dilakukan sebelum mengambil instrumen lain yang memiliki risiko dan biaya yang lebih tinggi.

Pertama, dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk menjaga arus kas. Kedua, dana abadi pemerintah. Ketiga, dari Badan Layanan Umum. Kemudian, penerbitan SBN dalam rupiah maupun valas. “Semua diterbitkan dengan prinsip kehati-hatian,” ujar dia. Sumber pembiayaan lainnya yaitu pinjaman bilateral dan multilateral.

MENTERI KEUANGAN SRI MULYANI INDRAWATI MENYERAHKAN KEPADA KETUA DPR PUAN MAHARANI SURAT PRESIDEN UNTUK PERPPU 1/2020 (ANTARA FOTO/Raqilla/pus/foc.)

Di tengah kondisi yang di luar normal saat ini, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara yang memungkinkan penerbitan surat utang untuk tujuan tertentu, khususnya pandemi corona. Surat utang yang digadang-gadang bernama Pandemic Bond tersebut bisa dibeli BI.

(Baca: Pandemic Bond, Surat Utang Negara untuk Atasi Wabah Covid-19)

Ini sebetulnya sejalan dengan rekomendasi CORE. Namun, posisinya dalam keuangan negara “below the line” alias bukan untuk membiayai defisit anggaran, melainkan sebagai cadangan alias reserve. Dalam kesempatan berbeda, Sri Mulyani mengatakan skemanya masih dimatangkan.

Mengacu pada penjelasan Sri Mulyani tersebut, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pemerintah memiliki strategi yang hati-hati, lewat pemanfaatan berbagai sumber pembiayaan. Sebab, terlalu mengandalkan sumber pembiayaan tertentu, misalnya SBN rupiah dalam jumlah besar juga berisiko.

“Penerbitan SBN dalam rupiah yang cukup besar tentunya akan berdampak negatif pada perkembangan pasar sekunder SBN yang cenderung akan melemah dengan adanya penambahan supply surat utang yang sangat signifikan,” ujarnya.