Pemerintah memproyeksikan nilai tukar rupiah pada tahun depan berkisar Rp 14.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Apabila asumsi ini tercapai artinya terjadi penguatan dibandingkan dengan posisi kurs belakangan ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kurs mata uang garuda tahun depan tetap dibayangi sejumlah tekanan. Tapi, rupiah tidak sendirian mengingat mata uang sejumlah negara lain juga mengalami tantangan global yang sama.
“Risiko meningkat. Growth (pertumbuhan ekonomi) di Amerika Serikat meningkat dan adanya kebijakan fiskal perdagangan. Ini meningkakan likuiditas dan menciptakan eksalasi," tuturnya saat konferensi pers terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, Jakarta, Kamis (16/8).
(Baca juga: Krisis Turki, Hanya Rupiah dan Saham yang Rentan Terdampak)
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, gejolak dari dinamika perekonomian global belum usai sehingga bank sentral dan pemerintah menaikkan proyeksi nilai tukar rupiah. "Kami optimistis rupiah di level Rp 14.400 (per dolar AS)," ujar dia.
Pada 2018, rupiah mendapatkan tantangan dari sisi global maupun domestik. Di pasar keuangan internasional tekanan datang dari tren kenaikan suku bunga bank sentral AS, perang dagang, serta pelemahan mata uang lira Turki. Di dalam negeri, rupiah berhadapan dengan semakin lebar defisit transaksi berjalan.
Pada APBN tahun ini, pemerintah menetapkan nilai tukar rupiah di kisaran Rp 13.400 per dolar AS. Tapi di lapangan menunjukkan posisi rupiah kian menukik di hadapan dolar AS. Belakangan hari bahkan mata uang garuda sempat menyentuh kisaran Rp 14.600 per dolar.
Nilai tukar rupiah berada pada level Rp 14.593 per dolar AS pada perdagangan Kamis (16/8) atau melemah 0,11% dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya, Rabu (15/8), pada posisi Rp 14.576 per dolar AS.
(Baca juga: Kendalikan Defisit Transaksi Berjalan, Bunga Acuan BI Naik 25 Bps)