Persepsi atas risiko investasi di Indonesia berpotensi terus meningkat sejalan dengan membesarnya defisit transaksi berjalan. Kondisi ini juga membuat nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing semakin lemah.

Current account deficit (CAD) merupakan salah satu indikator dalam memproyeksikan pergerakan kurs rupiah dan persepsi risiko investasi. Sejauh ini, risiko investasi di pasar utang Indonesia tetap tinggi tampak dari level risiko gagal bayarnya (credit default swap / CDS).

Pada 5 September 2018, CDS obligasi pemerintah dalam valuta dolar Amerika Serikat (AS) untuk tenor 5 tahun sempat di level 148,48, sedangkan tenor 10 tahun pada posisi 229,83. CDS ini menunjukkan yang tertinggi sejak awal 2018.

Senior Vice President Intermediary Business Schroders Adrian Maulana mengatakan, selama perekonomian AS terus membaik maka suku bunga acuan bank sentral trennya meningkat, nilai tukar dolar AS semakin perkasa, dan harga minyak meninggi.

"Negara-negara dengan defisit transaksi berjalan akan rentan," mengutip Adrian melalui keterangan resmi Schroders yang diterima Katadata.co.id, Senin (10/9).

Ekonom Claremont Graduate University AS Masyita Cristallin menuturkan, selain terimbas gejolak perekonomian global, defisit transaksi berjalan juga memperburuk keadaan di dalam negeri. CAD salah satunya disebabkan defisit pada neraca perdagangan migas lantaran harga minyak meningkat.

Per kuartal kedua tahun ini, CAD tercatat US$ 8 miliar setara dengan 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi ini hasil dari transaksi migas yang defisit hingga US$ 2,7 miliar meskipun tercapai surplus dari perdagangan nonmigas sebesar US$ 3 miliar. (Baca juga: Impor Migas Naik, Defisit Transaksi Berjalan Juni Terburuk Sejak 2014)

"Defisit perdagangan migas itu yang paling besar. Jadi, kalau masalah harga minyak ini tidak diselesaikan akan sangat sulit untuk menurukan defisit transaksi berjalan," katanya saat dihubungi Katadata.co.id secara terpisah.

Menurut Masyita, cara terbaik mengurangi defisit neraca migas dengan menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sesuai keekonomiannya. Langkah ini akan menekan permintaan serta mempersempit ruang penyelundupan karena disparitas harga berkurang.

Di tengah situasi ini maka keyakinan para penanam modal harus dijaga. Investor menanti langkah konkrit pemerintah dalam upaya mengikis CAD. Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual menilai bahwa pengendalian impor BBM sebetulnya solusi jitu untuk ini.

Pada saat harga minyak mentah dunia terus naik seperti sekarang, imbuhnya, ekspor minyak mentah Indonesia tak mampu menyaingi volume impor. Produksi minyak Indonesia hanya 700.000 -800.000 barel per hari sedangkan impor mencapai 1,4 juta barel per hari.

"(Solusi) yang sebenarnya adalah BBM tetapi pemerintah sudah menyatakan tidak mau mengubah harga BBM. Sekarang kondisinya berbeda karena (jelang) pemilu sehingga stabilitas politik dan sosial itu penting," tutur David kepada Katadata.co.id. (Baca juga: Tiga Strategi Pertamina Hadapi Pelemahan Rupiah)

David menyayangkan mekanisme peninjauan harga BBM, per satu hingga tiga bulan sekali, yang pernah dicanangkan pemerintah tetapi kini tak efektif lagi. Padahal, imbuhnya, mekanisme ini dapat membuat harga BBM lebih fleksibel meskipun tetap butuh subsidi.

Opsi yang ditempuh pemerintah ialah mengendalikan keran impor barang konsumsi. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) sekitar seribu komoditas konsumsi impor. Menurut David, kebijakan ini tergolong tepat untuk solusi jangka pendek.  (Baca juga: Kenaikan Tarif Pajak Dinilai Tak Berdampak Signifikan Tekan Impor)

Reporter: Ihya Ulum Aldin