Devisa Pariwisata Naik, Defisit Transaksi Berjalan Belum Tentu Membaik

ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana
Sejumlah wisatawan tiba di dermaga Serangan, Denpasar, Bali, 21 Desember 2016.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
19/3/2019, 05.00 WIB

Target devisa pariwisata tahun ini sebesar US$ 17,6 miluar (Rp 250,3 triliun) dinilai belum dapat menyehatkan defisit transaksi berjalan. “Perlu penguatan sektor lain, seperti perbaikan ekspor wisatawan,” kata Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Katadata.co.id, Senin (18/3).

Pemerintah perlu mempertimbangkan perjalanan wisatawan domestik ke luar negeri sebagai impor perjalanan. Menurut David, impor tersebut dapat mengurangi perolehan devisa dari wisatawan mancanegara.

“Penerimaan devisa perlu dilihat secara neto,” ujarnya. Artinya, jika pemerintah sedang menggenjot sektor pariwisata untuk meningkatkan penerimaan devisa, maka perlu juga melihat faktor pengurangnya.

Ia mencontohkan, banyak wisatawan domestik yang sekolah dan berobat ke luar negeri. “Pemerintah perlu strategi khusus mengatasi impor perjalanan ini,” katanya. “Jadi, bukan hanya melihat dari sisi turis yang masuk.”

David menyarankan, agar pemerintah menggenjot investasi asing ke sektor pendidikan dan kesehatan dalam negeri. Dengan demikian, tidak perlu lagi orang Indonesia bepergian ke luar negeri karena sakit atau sekolah.

Pemerintah juga perlu membenahi faktor biaya perjalanan wisata domestik. Menurut David, kadang perjalanannya jauh lebih mahal ketimbang berwisata ke mancanegara.

 (Baca: Pemerintah Targetkan Devisa Pariwisata Capai US$ 17,6 Miliar)

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam juga berpendapat hal yang sama. "Saya pesimistis lonjakan pariwisata akan benar-benar membantu perbaikan defisit transaksi berjalan," kata dia.

Penilaian tersebut ia lihat dari kondisi transaksi berjalan pada 2018 yang mengalami defisit 2,98% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit yang melebar tersebut menunjukkan besarnya jurang antara kebutuhan dan pasokan valuta asing (valas) dalam kegiatan ekspor-impor barang dan jasa.

Bila target US$ 17,6 miliar tercapai, neraca perdagangan dan jasa mungkin membaik. Namun, menurut Piter, karakteristik transaksi berjalan Indonesia umumnya ialah surplus pada neraca barang dan pendapatan sekunder. Sementara, karakteristik neraca jasa dan pendapatan primer umumnya defisit.

Transaksi pendapatan primer, yaitu penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja dan pendapatan investasi dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.

Sementara, transaksi pendapatan sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya. Transaksi pendapatan sekunder mencakup pula transfer dari tenaga kerja.

(Baca: Enam Langkah Pemerintah Tingkatkan Kunjungan Wisman ke Indonesia)

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan, target devisa dari sektor pariwisata sebesar US$ 17,6 miliar dapat mengurangi pelebaran defisit transaksi berjalan. "Tambah pasokan valas dan menstabilkan rupiah," ujarnya. 

Berdasarkan catatan BI, sektor pariwisata menyumbang devisa sebesar US$ 14,11 miliar sepanjang 2018. Devisa ini tercatat dalam neraca transaksi berjalan atau current account deficit/CAD sebagai ekspor perjalanan. Angka ini terus meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 2017, pariwisata menyumbang devisa sebesar US$ 13,1 miliar. Lalu, pada 2016 mencapai US$ 11,2 miliar, dan 2015 sebesar US$ 10,76 miliar.

Reporter: Rizky Alika