Kekhawatiran Resesi AS, Posisi Rupiah Kembali Terancam

Arief Kamaludin|KATADATA
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan resesi Amerika Serikat dapat memicu aliran keluar modal asing di Indonesia sehingga melemahkan mata uang rupiah.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
26/3/2019, 18.25 WIB

Posisi nilai tukar rupiah kembali terancam di tengah kekhawatiran resesi ekonomi Amerika Serikat (AS). Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan resesi itu dapat memicu aliran keluar modal asing di Indonesia sehingga melemahkan mata uang rupiah.

Menurut dia, investor akan memilih menanamkan modalnya ke negara yang dianggap aman (safe heaven). "Mata uang negara maju menguat. Rupiah bukan membaik, tapi terdepresiasi," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (26/3).

Hal serupa terjadi pada peristiwa krisis keuangan 2008 dan 2011, serta taper tantrum pada 2013. Pada saat itu, mata uang di negara safe heaven, seperti Jepang, AS, dan Eropa, menguat, sementara nilai rupiah turun.

Ketika krisis terjadi, investor secara otomatis menghindari risiko sehingga tidak menempatkan dananya di negara berkembang. Apalagi, Indonesia memiliki permasalahan defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang menahun. Secara fundamental, investor juga memilih imbal hasil (yield) obligasi negara yang lebih tinggi.

(Baca: Tekanan Global Mereda, Imbal Hasil Surat Utang Berpotensi Turun)

Ia pun mengatakan, dampak dari resesi AS perlu diwaspadai. Sebab, ekspektasi resesi ini dapat menjalar lebih cepat daripada masalah yang disebabkan oleh faktor fundamental. Fithra pun menyarankan, Indonesia perlu mencari stimulus fiskal maupun moneter.

Di sisi lain, Staf Ahli Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Kementerain Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan di tengah ancaman resesi AS, pemerintah akan mendorong ketahanan pertumbuhan yang berkelanjutan di tengah ketidakpastian global.

"Kami mengupayakan reformasi struktural untuk memperkuat ekonomi domestik," ujarnya. Ia pun mengakui banyaknya risiko global terjadi saat ini. Tidak hanya AS, risiko juga berpotensi berasal dari perlambatan ekonomi Eropa dan Tiongkok.

Kekhawatiran resesi negeri Paman Sam terjadi setelah munculnya fenomena kurva yield obligasi AS yang terbalik. Kurva imbal hasil obligasi pemerintah AS yang terbalik terbukti akurat menjadi indikator penanda akan munculnya krisis.

(Baca: Ancaman Resesi Ekonomi AS, Bursa Saham Asia Berguguran)

Pada prakteknya, ketika yield obligasi AS tenor 10 tahun lebih rendah daripada yang bertenor tiga bulan, resesi akan terjadi dalam setahun berikutnya. Pekan lalu, yang baru mengalami kondisi terbalik adalah yield obligasi pemerintah AS tenor 10 dan 3 tahun.

Mengacu pada tradingeconomics, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada pada 2,44% atau menurun 0,26% dalam sebulan. Imbal hasil tersebut juga sedikit lebih rendah dibandingkan obligasi tenor tiga bulan sebesar 2,46%.

Reporter: Rizky Alika