Berguru Transaksi Nontunai ke Tiongkok dan Australia

Katadata | Muchamad Nafi
Restoran Freshippo Hema, Alibaba, Shanghai
Penulis: Sorta Tobing
7/10/2019, 08.30 WIB

Tak perlu uang tunai, kartu kredit, kartu debit, telepon pintar, apalagi dompet. Konsumen yang ingin berbelanja di sejumlah toko dan supermarket di Tiongkok cukup bawa badan.

Caranya sederhana. Datanglah ke kasir yang sudah menyediakan pemindai wajah. Arahkan muka ke mesin itu dan, voila, pembayaran selesai.

Di supermarket IFuree di Tianjin lebih canggih lagi. Kamera tiga dimensi sudah siap memindai wajah konsumennya di pintu masuk toko. Setelah selesai memilih barang, konsumen tak perlu ke kasir. Kamera di pintu keluar otomatis memindai lagi wajah dan langsung mendebitkan akun konsumen.

“Teknologi ini sangat nyaman. Saya dapat membeli barang dengan sangat cepat,” kata Zhang Liming, seorang pensiunan seperti dikutip Channel News Asia, awal September lalu. Nilai plus lainnya, tidak ada lagi antrian di kasir. “Menunggu dan mengantri itu bisa sangat mengganggu.”

(Baca: Gelombang Besar Transaksi Nontunai di Indonesia)

Perusahaan teknologi dan e-commerce raksasa Alibaba menjadi pemimpin penerapan teknologi pembayaran dengan pemindai wajah di Tiongkok. Namanya Smile-to-Pay. Alibaba menempatkan teknologi itu di 100 kota di Cina.

Perusahaan memprediksi pemakaiannya bertambah banyak. Dalam tiga tahun ke depan, konglomerasi yang didirikan Jack Ma itu akan menggelontorkan US$ 420 juta untuk menerapkan teknologi Smile-to-Pay.

Uang itu tak hanya untuk teknologi, juga memberikan subsidi kepada vendor dan konsumen yang memakainya. “Alibaba mengeluarkan banyak sekali uang untuk mempopulerkan teknologi pembayaran dengan mesin pemindai wajah,” kata analis dari Counterpoint, Mengmeng Zhang.

(Baca: Alibaba Memasuki Dekade Kedua, Jack Ma Berbagi 3 Pelajaran Bisnis)

Soal kecanggihan teknologi Alibaba juga sempat Karina Isna lihat ketika melancong ke Shanghai pada November tahun lalu. Saat itu belum ada teknologi pemindai wajah, tapi konsumen bisa membayar melalui Alipay dari ponselnya.

Sayangnya, penerapan teknologi itu masih terbatas. Biasanya toko yang memakai Alipay terafiliasi juga dengan Alibaba, misalnya supermarket Hema.

Nah, di Hema, Karina mengaku kagum karena selain belanja, konsumen bisa tahu asal-usul dan distribusi sayur dan daging segar hanya lewat ponsel. Teknologi seperti ini belum ada di Indonesia.

(Baca: Kerikil Penghambat Mewujudkan Masyarakat Nontunai)

Kasir mandiri di Freshippo Hema, Alibaba, Shanghai. Konsumen membayar melalui transsaksi nontunai. (Katadata | Muchamad Nafi)

Hema juga memiliki restoran robot yang atraktif. Robot ini membantu konsumen dari mulai pemesanan makanan sampai pengiriman meja kerja.

Terlepas dari kecanggihan teknologi itu, Karina menilai pembayaran nontunai di Tiongkok tak jauh beda dengan di Indonesia. Kalau ingin belanja oleh-oleh, tetap saja konsumen memakai uang tunai. “Belum totally cashless,” kata pegawai swasta berumur 25 tahun ini.

Ketika ia berbelanja di Yuyuan Tourist Mart, misalnya, tak tersedia pembayaran nontunai. Konsumen tetap harus membayar dengan lembaran uang. “Kegiatan atratif dari Alibaba Group hanya bisa dinikmati oleh penduduk asli Cina. Turis sekadar lihat,” ucapnya.

(Baca: Persaingan Bisnis Dompet Digital Makin Ketat dan Mengerucut)

Beramal dengan Pembayaran Nontunai

Di Indonesia, kotak amal merupakan bagian tak terpisahkan dari tempat ibadah. Di gereja atau masjid, peti kecil sedekah itu menyambut di pintu masuk, atau merayap di hadapan umat ketika khotbah dibacakan.

Pemandangan semacam ini yang Katadata.co.id tak menemukan ketika mampir di Masjid Alhijrah, di Sydney, Australia bulan lalu. Alih-alih menyelipkan uang ke kotak di tempat ibadah yang kerap disebut masjid Indonesia itu, jemaah cukup menempelkan kartu bank atau telepon genggamnya ke donation point tap, mirip mesin pembayaran nontunai di gerai perbelanjaan.

Tanpa kartu bank, baik debit maupun kredit, atau aplikasi pembayaran online, hidup terasa sulit di kota yang menempati peringkat tiga the most livable city in the world versi Economist Intelligent Unit tersebut.

Spice Alley, salah satu pusat kuliner di kawasan Central Sydney, misalnya, tidak menerima pembayaran dengan uang tunai. Jangan harap bisa menumpang transportasi umum jika hanya berbekal uang tunai. Di kantin sekolah dasar, para murid hanya bisa mengambil makanan yang sudah dipesan dan dibayar online oleh orang tua mereka.

Tinggal di Australia membuat dompet tipis, bukan karena tingginya pengeluaran tapi karena jarang menyimpan uang tunai. Kalaupun ada, lembaran uang atau koin bisa bertahan lama di dalam saku karena jarang digunakan. Gerai pedagang sayur dan sembako juga mengadopsi sistem pembayaran nontunai tanpa batas minimum.

Tak pelak, rata-rata tiap orang menarik uang di ATM menurun, dari 40 kali per tahun pada 2010, menjadi 25 kali pada 2018. Pada periode yang sama, pembayaran dengan mesin tap atau contactless payment naik empat kali.

(Baca: 94% Transaksi Ritel Nontunai Masih Gunakan Kartu ATM/Debet)

Riset yang dilakukan East & Partners memprediksi pembayaran tunai hanya akan meliputi 5 % transaksi sepanjang tahun ini, dan tak sampai 2 % pada 2022. Tren transaksi nontunai ini juga dipercepat oleh penggunaan aplikasi dompet digital seperti Apple Pay, Samsung Pay, Android Pay, dan pembayaran melalui perangkat aksesoris seperti Apple Watch, Inamo Curl and Visa’s WaveShades. Analis East & Partners, Martin Smith, mengatakan transaksi nontunai menjadi gaya hidup seiring munculnya aplikasi dan perangkat tersebut.

Oleh sebab itu, pada 2020, “Australia bisa sepenuhnya menjadi cashless society,” kata ekonom dari University of New South Wales, Richard Holden, seperti dikutip Sydney Morning Herald. --> [Halaman 2: Masalah yang Membayangi Teknologi Pembayaran Nontunai]

Reporter: Adek Media Roza