Berguru Transaksi Nontunai ke Tiongkok dan Australia

Katadata | Muchamad Nafi
Restoran Freshippo Hema, Alibaba, Shanghai
Penulis: Sorta Tobing
7/10/2019, 08.30 WIB

Ia mengatakan, selain kemudahan, transaksi nontunai mendorong akselerasi ekonomi karena kecepatan proses perdagangan dan pergerakan uang. Dari sisi pencatatan, semua transaksi terdokumentasi dengan rapi dan memudahkan pemerintah dalam menarik pajak. “Transaksi nontunai akan menekan perdagangan gelap,” katanya.

Karena itu pemerintah Australia mendorong perluasan transaksi nontunai. Gubernur Bank Central Australia, Philip Lowe, mengatakan uang kertas dan koin akan semakin jarang digunakan. Sejak 2018, uang kertas A$100 -nominal terbesar- nyaris menghilang dari peredaran dan tak tersedia di ATM.

Bank Central juga mendorong empat bank terbesar, Commonwealth, Westpac, ANZ and NAB untuk menyatukan ATM mereka. Hal ini demi menekan biaya operasional sekaligus memastikan masih ada uang tunai yang beredar untuk keperluan darurat.

(Baca: OVO Jadi Dompet Digital Terbesar di Indonesia Berkat Ekosistem Grab)

Masalah yang Membayangi Teknologi Pembayaran Nontunai

Toh, dengan optimisme yang demikian tinggi, perubahan tersebut tetap dibayangi sejumlah kekhawatiran. Transaksi nontunai bisa kacau-balau jika terjadi gangguan sistem telekomunikasi dan listrik.

“Saat tergantung pada teknologi, kita kian rawan terhadap serangan,” kata David Glance, Direktur dan Senior Reserch Fellow dari Centre for Software Practice di University of Western Australia. Di samping itu, aplikasi pembayaran nontunai juga tak ramah bagi penduduk sepuh dan mereka yang tak mampu membeli smartphone.

Di Cina, teknologi pembayaran dengan pemindaian wajah tak 100 % sempurna. Di balik kecanggihannya, banyak pihak mencurigai mesin ini dapat disalahgunakan oleh pemerintah.

“Ada risiko besar,” ucap Adam Ni, peneliti Cina dari Macquarie University, Sydney, Australia. “Negara dapat menggunakan data ini untuk tujuan mereka, seperti pengawasan, pemantauan, pelacakan pembangkang politik, kontrol sosial dan informasi, profil etnis, seperti dalam kasus dengan Uighur di Xinjiang.”

Meskipun dibayangi sejumlah kekhawatiran, pemakaian pembayaran nontunai terus meningkat. Konsumen lebih memilih teknologi ini karena praktis dan cepat.

Ekonografik: 10 Negara dengan Volume Transaski Nontunai Terbesar (2017) (Katadata)

Negara di Skandinavia berada di peringkat atas pengguna sistem pembayaran nontunai. Ekosistem yang telah terbentuk ini kerap disebut cashless society. Menurut CNBC, Swedia merupakan negara pertama di dunia yang menerapkan cashless di seluruh sistem pembayarannya.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Statista, nilai transaksi nontunai global pada 2021 diprediksi mencapai US$ 876,4 miliar. Angka tersebut tumbuh 2,64 kali dibandingkan transaksi nontunai pada 2012 sebesar US$ 331,7 miliar. Lihat grafik pada Databoks di bawah ini:

Transaksi nontunai terbesar dicatatkan oleh negara-negara berkembang di Asia yang mencapai US$ 250 miliar atau 28,5 % dari total transaksi nontunai global. Amerika Utara berada di posisi kedua dengan nilai US$ 211,7 miliar atau 24,15 %. Eropa di posisi ketiga yang menghasilkan transaksi US$ 151,1 miliar atau 17,24 %.

(Baca: Perbankan dan Fintech Pembayaran, Bukan Lawan tapi Kawan)

Sementara itu, negara-negara Eropa Tengah, Timur Tengah, dan Afrika menempati peringkat keempat dengan nilai transaksi nontunai US$ 131,3 miliar. Adapun negara-negara maju di Asia Pasifik di urutan kelima dengan nilai US$ 80,1 miliar.

Lalu, bagaimana perkembangan transaksi uang eletronik di Indonesia? Data Bank Indonesia pun menunjukkan tren pesat penggunaan alat bayar nontunai.

Volume transaksi nontunai pada akhir 2018, misalnya, melonjak 209,8 % menjadi 2,9 miliar transaksi dibandingkan 2017 sebesar 943,3 juta. Hingga Juli 2019, volume penggunaan uang elektronik 2,7 miliar transaksi atau mendekati angka pada akhir 2018.

Kenaikan volume transkasi ini berbanding lurus dengan nilainya yang melonjak 281,39 %. Pada 2018 nilai transaksi uang elektronik sebesar Rp 47,2 triliun. Angka tersebut melambung Rp 34,8 triliun atau hampir tiga kali dibandingkan posisi 2017 sebesar Rp 12,4 triliun.

Reporter: Adek Media Roza