Persaingan Bisnis Dompet Digital Makin Ketat dan Mengerucut

123RF.com/weedezign
Ilustrasi pembayaran digital. Fintech pembayaran gemar memberikan promo untuk menarik konsumen.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yuliawati
7/10/2019, 07.30 WIB

Dompet digital besutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini juga memperbanyak penggunaan (usecase) dengan menggaet perusahaan transportasi umum seperti MRT, LRT hingga Garuda Indonesia. “Kami tidak mencoba untuk melawan OVO, GoPay dan lainnya, karena mereka sudah bersaing di segmen tertentu. Justru kami ingin membuka pasar baru,” kata CEO Finarya Danu Wicaksana.

(Baca: LinkAja Target 1 Juta Pengguna Pakai LinkAja Syariah Tahun Depan)

Chief Technology Officer (CTO) LinkAja Arman Hazairin mengatakan, perusahaannya menargetkan layanan pembayaran untuk transportasi massal selesai diuji coba seluruhnya pada kuartal keempat tahun ini. Dengan begitu, ia berharap lebih banyak konsumen bisa memakai LinkAja saat menggunakan transportasi umum pada akhir 2019.

Selain itu, ia tengah mengembangkan aplikasi mini yang memungkinkan apps lain terintegrasi dengan LinkAja. Konsep seperti ini mirip dengan Gojek dan Grab yang tengah mengembangkan SuperApp. Hanya, LinkAja fokus pada layanan pembayaran.

Tak hanya itu, LinkAja berencana mengembangkan komputasi awan (cloud) sendiri pada 2020. “Sebelumnya, hampir seluruh data disimpan di penyimpanan milik Telkomsel,” kata Arman di kantornya. Divisinya juga mengkaji teknologi profiling supaya bisa menyediakan layanan keuangan yang lebih luas, seperti investasi dan pinjaman.

Kini, LinkAja mulai merambah pasar keuangan Syariah dengan meluncurkan LinkAja Syariah pada November ini. Mereka mendapat sertifikasi penyesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional  Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Perusahaan menargetkan 1 juta pengguna LinkAja beralih ke LinkAja Syariah.

(Baca: Aplikasi Permata Bank Layani 1,5 juta Transaksi Tiap Bulan)

Selain fintech pembayaran, BI memberikan izin menyediakan layanan dompet digital kepada beberapa bank. Di antaranya Jenius milik Bank Tabungan Pensiun Nasional (BTPN), Go Mobile CIMB Niaga, Sakuku Bank Central Asia (BCA), Permata Mobile X Bank Permata, dan lainnya.

Fintech pembayaran BtoCFintech atau platform digital bidang pembayaran (BtoB)Dompet digital milik bankFintech Pembayaran asing yang berencana masuk IndonesiaUang elektronik milik perusahaan telekomunikasi
GoPay, OVO, DANA, LinkAja, Doku, i-saku milik Indomart, Paytren, dllMBiz, TokoPandai, Cashlez Mpos, Dimo Pay, dllJenius, Go mobile, Digibank dari DBS, Sakuku, Permata Mobile X, dllWeChat Pay, Alipay, WhatsApp Pay, dllUangku dari Smartfren, PayPro dari Indosat, XL Tunai dari XL, Flexy Cash Telkom

Untuk bisa bersaing dengan fintech pembayaran, perbankan lebih fokus pada layanan ketimbang promosi. Jenius misalnya, menawarkan layanan pembayaran, menabung, investasi, dan mengatur keuangan dalam satu aplikasi. Aplikasi ini juga menawarkan fasilitas pembukaan tabungan, deposito dan isi saldo LinkAja, OVO, mTix, dan GoPay.

(Baca: DBS Luncurkan Digibank di Indonesia, Targetkan 3,5 Juta Nasabah)

Layanan serupa juga ditawarkan oleh DBS melalui aplikasi Digibank. Pengguna bisa mengatur keuangan dengan memantau transaksi melalui fitur Spending Tracker. Konsumen juga bisa membuka tabungan tanpa harus datang ke kantor cabang.

Selain sektor keuangan, perusahaan telekomunikasi memiliki layanan pembayaran sendiri. Indosat misalnya, memiliki Pay Pro. Melalui aplikasi ini, pengguna bisa membeli pulsa, membayar tagihan hingga belanja online.

Bahkan, dompet digital menawarkan layanan tarik tunai dan transfer. Pay Pro juga bisa dipakai untuk membayar layanan transportasi seperti bajaj, angkot hingga DAMRI.

Begitu juga dengan XL Tunai, pengguna bisa berbelanja online hingga membeli pulsa melalui layanan ini. Dompet digital juga menawarkan fitur transfer dan tarik dana.

Standardisasi QR Ubah Persaingan Dompet Digital

BI memperkirakan, transaksi melalui uang elektronik mencapai US$ 25 miliar pada 2023. Berdasarkan data Statista, pertumbuhan majemuk tahunan atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) bisnis ini diproyeksi sekitar 11,4% selama 2019-2023.

 Aftech juga mencatat, transaksi melalui platform fintech pembayaran tumbuh 70% selama Maret hingga Desember 2018. Nilai transaksinya mencapai Rp 47 triliun sepanjang tahun. Volume transaksi fintech pembayaran juga tumbuh 48% atau mencapai 2,9 juta kali pada 2018.

Berkaca dari besarnya potensi itu, fintech—baik pembayaran maupun pinjam-meminjam—yang menjadi sektor yang paling banyak mendapat pendanaan pada tahun lalu. Berdasarkan Aftech Annual Member Survey Report, mayoritas investasi yang masuk di industri ini lebih dari US$ 10 miliar atau tergolong pendanaan seri A.

(Baca: Saling Salip Gojek dan Grab Berebut Pasar Keuangan di Asia Tenggara)

Tidak heran jika penyedia layanan dompet digital terutama fintech pembayaran rela ‘bakar uang’ untuk menggaet banyak konsumen. Kondisi seperti ini juga masih terjadi di Tiongkok, yang mayoritas masyarakatnya sudah menggunakan layanan dompet digital.

WeChat Pay dan Alipay menawarkan beragam program loyalitas untuk menggaet konsumen pada 2017 lalu. “Banyak toko memiliki insentif pagi pengguna layanan pembayaran seluler untuk melibatkan pelanggan dengan lebih baik,” kata Analis Kapronasia Zennon Kapron dikutip dari Forbes, pada 2017 lalu.

Promosi seperti itu masih dilakukan oleh WeChat Pay dan Alipay. Mengutip dari China-Briefing.com, Starbuck merupakan salah satu mitra penjual pun yang memaksimalkan layanan dompet digital dengan memberikan beragam program loyalitas seperti diskon dan cashback.

(Baca: BI Rilis Standardisasi Kode QR, Nasib Alipay & WhatsApp Pay Terdampak)

Senior Vice President of Consumer Product Doku Ricky Richmond mengatakan bahwa standardisasi kode Quick Response (QR code) atau QRIS menggeser peta persaingan pada kemudahan transaksi dan promosi.

QRIS dirilis BI pada Agustus lalu. Melalui QRIS, mitra penjual hanya perlu menyediakan satu kode QR yang bisa dipindai oleh semua pengguna dompet digital.

“Untuk area (persaingan antarpemain) Business to Costumer (BtoC), lebih kepada kemudahaan penggunaan dan manfaat finansial seperti promosi. Untuk persaingan dalam hal akuisisi mitra sudah diatasi dengan QRIS,” kata Ricky.

Dalam hal ini, Doku mempunyai dua konsumen yakni mitra penjual dan pembeli, sehingga model bisnisnya Business to Business to Costumer (BtoBtoC). Untuk mitra, perusahaan yang berdiri pada 2007 ini bekerja sama dengan fintech bidang pinjam-meminjam (lending) untuk menyediakan pembiayaan.

Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Niki Santo Luhur sepakat bahwa QRIS menggeser persaingan dari banyaknya mitra penjual offline yang digaet menjadi berfokus pada layanan dan benefit lainnya. Sebab, semua pengguna bisa memindai kode QR di setiap mitra penjual.

“Dengan QRIS, semua menjadi merata. Siapa yang lebih jago membuat konsumen puas dan senang, itu akan dipilih. Tergantung pemain dalam berinovasi, hingga akhirnya mereka bisa fokus ke sektor khusus atau penggunaan (usecase) tertentu,” kata dia.

Pendapat sedikit berbeda disampaikan oleh CEO Finarya Danu Wicaksana. Ia mengatakan bahwa QRIS merupakan infrastruktur pembayaran di mitra penjual fisik, sementara penggunaan dompet digital lebih luas daripada itu.

Karena itu, menurutnya pelaku usaha di bisnis dompet digital bakal berfokus membidik segmen yang berbeda. “Kalau semua menyasar target market yang sama, seperti mitra penjual di mal ya ujung-ujungnya perang diskon,” kata dia.

(Baca: BI Terapkan Standardisasi Kode QR Antarnegara Tahun Depan)