Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) berencana mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA) terkait Peraturan Daerah (Perda) No.2 Tahun 2018 tentang Perpasaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pengusaha meminta aturan itu dicabut karena dinilai memberatkan pusat perbelanjaan atau mal.
"Kita ambil judicial review, bukan untuk melawan pemerintah tapi untuk selamatkan keberlangsungan bisnis mal," ujar Ketua Bidang Hukum dan Advokasi APPBI Hery Sulistyono di Jakarta, Selasa (10/12).
Menurutnya, Perda itu berpotensi membuat semua mal merugihingga berpotensi menyebabkan pusat belanja tutup dan berdampak pada menurunnya penerimaan pajak pemerintah.
(Baca: Kadin: Kebijakan Ruang Mal 20% untuk UMKM Rugikan Pengusaha Retail)
"Bukan hanya selamatkan mal, otomatis juga menyelamatkan pendapatan daerah, pajak mal juga besar," ujarnya.
Dia mengklaim kontribusi pajak dari pusat perbelanjaan terbilang signifikan. Misalnya, untuk Pajak Restoran (PB) I sebesar 10%, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Reklame, Pajak Retribusi Parkir, Pajak Penerangan Umum, hingga PPh 21 untuk seluruh pegawai atau karyawan mal sehingga jumlahnya sangat besar.
"Jika banyak Pusat Perbelanjaan yang akhirnya tutup karena penerapan Perda No.2 tahun 2018, tentu kontribusi pajak akan berkurang," katanya.
Ia memaparkan Perda itu memuat sejumlah kewajiban bagi para pengelola mal untuk memberdayakan para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui tiga pola kemitraan yang tercantum dalam Pasal 41 ayat 2, yakni penyediaan lokasi usaha, peyediaan pasokan, dan atau penyediaan fasilitasi.
(Baca: Peretail Minta Pemda DKI Kaji Ulang Kewajiban 20% Ruang Mal untuk UMKM)
Dari tiga pola kemitraan itu, penyediaan lokasi usaha merupakan pola kemitraan yang wajib dilaksanakan pengelola. Pengelola juga diwajibkan untuk menyediakan ruang usaha sebesar 20% secara gratis untuk pelaku UMKM.
Kendati demikian, Hery Sulistyono mengatakanpihaknya bersama asosiasi lainnya yakni Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), dan Real Estate Indonesia (REI) tetap berdiskusi dengan Pemprov DKI agar membatalkan Perda itu dan mencari solusi saling menguntungkan (win-win solution).
"Soalnya, jika Perda itu tetap diterapkan, yang bakal terpukul bukan hanya mal, tapi juga para pelaku-pelaku UMKM," katanya.
Tanpa adanya Perda, pengelola mal sebetulnya tengah berjuang mengatasi lesunya bisnis retail. Hal ini ditandai dengan menurunnya jumlah pengunjung.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia DKI Jakarta Amran Nukman menambahkan, aturan yang mewajibkan 20% lahan gratis untuk UMKM di mal terlalu besar dan sangat memberatkan pengelola.
Perda yang ada itu dinilai tidak seimbang. Sebab, di satu sisi pemerintah ingin mengangkat UMKM, sementara di sisi lain, pemerintah juga perlu berbisnis secara wajar.
"Aturan 20% itu kan seperlima luas mal. Bisnis mal kan sewakan tempat, jadi income mal untuk kembalikan investasi yang dulu bakal lebih panjang lagi," katanya.