Perusahaan Migas Indonesia Jangan Hanya Jago Kandang

Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Yuliawati
19/5/2019, 13.13 WIB

Tren Investasi Hulu Migas

Anda menyebutkan sejumlah kontrak GrossSplit pada 2017 ada 5, 2018 ada 9, totalnya 14. Siapa saja yang mengambil? Lalu komposisinya dengan perusahaan nasional dan swasta nasional seberapa?

Saya pikir (komposisinya) berimbang. ENI perusahaan migas asal Italia mengubah kontrak Marakes yang existing cost recovery kemudian menjadi Gross Split.

Kemudian Repsol dari Spanyol. Dari Middle East, kita punya Mubadalah. Selama ini Pertamina sudah lama tidak mengambil blok-blok eksplorasi. Nah tahun lalu Pertamina juga ikut mengambil blok eksplorasi.

Dalam negeri, ada beberapa perusahaan dalam negeri juga mengambil blok eksplorasi kita dengan Gross Split. Termasuk Saka Energi yang akan kami kunjungi mengambil dua di Blok West Yamdena dan Pekawai.

Perusahaan nasional atau swasta nasional yang aktif melakukan eksplorasi itu mana saja?

Ada PT Saka Energi Indonesia, PT Pertamina,  PT Energi Mega Persada (EMP). Tidak banyak sih..

Dari yang tadi Anda sebutkan, peran mereka besar?

Untuk saat sekarang, produksinya kecil tapi cukup untuk berpartisipasi dalam pengelolaan blok-blok migas. Tentu kami enggak bisa memaksakan, karena eksplorasi itu mahal dan beresiko tinggi. Nah perusahaan di Indonesia itu melihat eksplorasi itu berisiko, maka bisa juga memutuskan memulai dari ekploitasi dengan membeli blok-blok yang sudah ada.

Dulu blok-blok eksplorasi itu ditawarkan, sementara yang mengambil itu belum punya kemampuan dari segi keuangan dan teknis. Nah sekarang kontrak-kontrak yang seperti itu kalau tidak dikerjakan sesuai dengan waktunya, ya kami cabut. Hampir sekali dalam dua minggu, atau sekali seminggu, saya buat surat pencabutan WK ini. Setelah pencabutan WK maka lelang ulang.

Blok-blok eksplorasi itu bukan untuk didiamkan, melainkan untuk dieksplorasi sehingga kita mendapatkan informasi apakah blok tersebut punya minyak atau gas. Bukan unuk disimpan untuk menunggu investor datang.  Lakukan seismic, 2D, processing, eksplorasi sumur. Nah itu silahkan lakukan, semua proses kita percepat.  Tapi kalau Anda tidak komit, sekian persen saja dilakukan setelah beberapa tahun, mohon maaf blok ini perlu untuk diekpslorasi.

Ada data investasinya menurun dan pada saat yang sama konsumsinya bertambah. Penyebabnya apa?

Itu terkait laporan di media. Misal membangun sebuah investasi di laut dalam untuk pengembangan sebuah blok, capital expenditure-nya, itu US$ 10 miliar.  Maka dicatatkan target investasi di sektor hulu migas US$ 10 miliar. Sewaku kami lihat bahwa ini berupa biaya modal, kami cek satu per satu, karena negara akan mengembalikan itu lewat produksi, maka dikembalikan US$ 10 miliar itu.

Maka SKK Migas melakukan pengecekan. Ternyata biaya itu kebesaran. Ini harus dilakukan efisiensi, dan tidak benar biayanya sebesar itu. Maka misalnya kami potong, kami hemat duit negara US$ 3 miliar, nilai investasi sebenarnya US$ 7 miliar kan. Maka itu dikatakan terjadi penurunan investasi di Indonesia yang semula US$ 10 miliar menjadi US$ 7 miliar.

Penghematan duit negara yang selama ini dibilang US$ 10 miliar sekarang menjadi US$ 7 miliar. Kami selamatkan duit negara tapi bahasanya “Investasi sektor migas tidak tercapai karena diharapkan investasi US$ 10 miliar, hanya tercapai US$ 7 miliar”. Padahal penurunan US$ 3 miliar karena penghematan.

Nah tolong dibuat pengertian yang pas. Nilai US$ 7 miliar itu bukan karena investasi tidak tercapai tapi karena penghematan yang dilakukan oleh negara. Kalau angka penghematannya US$ 3 miliar, nah kalau US$ 5 miliar? Maka semakin besar penghematan oleh negara maka semakin tidak tercapai investasi sektor migas. Dari US$ 10 miliar kami hemat US$ 5 miliar.

Kalau boleh saya mengusulkan, bukan lagi melihat dari hanya value, tapi juga angka produksinya sama atau tidak. Jadi dengan investasi US$ 5 miliar dan US$ 10 miliar, rencana target produksinya harus sama.



Mengenai konsumsi migas yang terus meningkat lalu seperti apa peran perusahaan migas nasional maupun swasta nasional dalam pemenuhan kebutuhan itu?

Kalau kita mau membesarkan sebuah oil company. Salah satu caranya adalah berekspansi. Melihat potensi atau mengembangkan bisnis tidak saja di dalam negerinya, tetapi juga di luar negeri.

Tahun lalu kontribusi Pertamina terhadap produksi nasional sekitar 20-30%. Insya Allah setelah Rokan kembali tahun 2021, Pertamina akan punya kontribusi 60% dari produksi nasional.

Perusahaan-perusahaan minyak nasional negara lain seperti Petronas, kalau tidak salah itu menyumbang  50-60%  persen dari produksi nasional. Saudi Aramco juga di atas 60% kontribusi mereka terhadap produksi nasional.

Sebesar apapun sebuah perusahaan migas, tetap harus berekspansi di lapangan-lapangan di luar untuk membagi risiko. Jadi jangan menaruh investasi hanya pada satu keranjang saja, harus di mana-mana, karena risiko itu harus di-manage. Dengan adanya produksi di luar negeri, maka crude oil akan masuk ke Indonesia. Nah sewaktu masuk ke Indonesia, itulah salah satu penyumbang devisa untuk Indonesia.

Apakah signifikan hasil perusahaan migas tersebut di luar negeri?

Pertamina punya beberapa blok diempat negara, ada di Aljazair, Irak, Perancis, dan Malaysia. Lumayan, produksi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Produksi dari blok Pertamina di luar negeri sekitar 50 ribu barrel per day, rata-rata yang masuk ke sini, dengan harga minyak US$ 60 sekitar US$ 3 juta per hari. Setahun kita punya devisa, mendapatkan itu hasil US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14-15 triliun rupiah

Medco punya di Middle East, Saka juga punya Blok Fasken di Amerika. Perusahaan-perusahaan migas perlu ikut berkompetisi dengan perusahaan lain. Sehingga experience bisa didapatkan. Dari segi kemampuan baik ilmu, skill, dan experience. Nah experience diperoleh dengan ikut berkompetisi di negara-negara lain. Jangan hanya jago kandang,