Cukai Plastik Membelah Dua Menteri

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
7/7/2016, 08.00 WIB

Baru sebatas wacana tapi sudah menggegerkan dunia usaha, juga di tubuh kabinet. Upaya Kementerian Keuangan menerapkan ekstensifikasi cukai pada plastik kemasan berisi minuman menuai pro-kontra.

Menurut para pejabat di Lapangan Banteng, markas Kementerian Keuangan, kebijakan tersebut merupakan salah satu upaya mengendalikan sampah plastik yang menggunung, sekitar 4,5 juta ton per hari, selain untuk menambah penerimaan negara. Mendasarkan kepada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai pada plastik kemasan dinilai membantu mengelola lingkungan lebih benar.

Meski demikian, Kementerian Perindustrian tak memiliki pandangan yang sama. Mereka malah khawatir rencana tersebut malah akan memperlambat industri minuman nasional. Menteri Perindustrian Saleh Husin menyatakan cukai plastik memberikan dampak luas. (Baca: Kejar Setoran Pajak, Pemerintah Diminta Tak Menakuti Pengusaha).

Selain itu, kriteria cukai kemasan plastik minuman dikategorikan sebagai bahan yang dapat mencemari lingkungan tidaklah tepat sepenuhnya. “Kemasan plastik berbagai ukuran dan bentuk untuk minuman dapat didaur ulang. Sudah ada industri recyle-nya,” kata Saleh dalam keterangan resminya, Rabu pekan lalu.

Dalam hitungan instansinya, cukai plastik akan memukul konsumsi produk minuman. Bila langkah tersebut diteruskan, Saleh menilai daya saing industri minuman nasional akan melemah. Efeknya, pasar ini akan diisi oleh asing yang mampu memberi harga lebih miring. (Baca: Ramai-ramai Tolak Rencana Cukai Plastik Kemasan).

Saleh Husin
(Arief Kamaludin|KATADATA)

Tak hanya itu, cukai plastik menyebabkan lahirnya ketidakharmonisan kebijakan. Misalnya, bertentangan dengan kemudahan berinvestasi dalm hal insentif pajak yang sedang digulirkan pemerintah.

Pandangan kontra cukai plastik juga disuarakan Enny Sri Hartati. Direktur Eksekutif INDEF ini menyatakan penerapan cukai plastik perlu dikaji lebih mendalam. Tujuan utama pengenaan cukai untuk pengendalian tidak bisa dikesampingkan hanya untuk menambal penerimaan. Pemerintah diminta mencari alternatif barang kena cukai lain yang lebih masuk akal untuk pengendalian disamping untuk menambah penerimaan negara.

“Kebijakan apa pun, harus terbuka. Ketika sudah diketok palu, tidak menimbulkan distorsi. Kedua, harus efektif sesuai tujuan utama kebijakan itu dibuat. Tidak menimbulkan distorsi dan resistensi,” ujar Enny.

Penolakan serupa diutarakan Adhi Lukman. Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) ini menyatakan cukai pada plastik kemasan minuman tidak tepat lantaran dapat memberikan banyak dampak negatif. (Baca juga: Dirut Pertamina Tolak Pemberlakuan Cukai BBM).

Pertama, kenaikan harga minuman berpotensi memacu inflasi. Kedua, Adhi mengklaim, dari hasil penelitian yang melibatkan perguruan tinggi, pengenaan cukai ini justru merugikan pemerintah sekitar Rp 500 miliar per tahun.

Ketiga, industri di Indonesia akan terganggu terutama industri plastik. Alasannya, negara lain tidak menerapkan hal tersebut, karenanya dapat memicu keluarnya investasi di sektor perplastikan di Indonesia.

Seberapa Besar Konsumsi Plastik Indonesia?

NegaraJumlah Penduduk(Juta Jiwa)Luas Wilayah(Juta km2)Konsumsi Plastik(Kg/kapita/tahun)Konsumsi(JutaTon/tahun)Kepadatan Konsumsi Plastik(ton/km2)
Indonesia2501.42174.252.99
Malaysia290.33351.023.09
Thailand670.51402.685.25
Eropa Barat1911.0910019.117.52

Sumber: INAPLAS dan www.worldometers.info

Mendapat  penolakan seperti itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan rencana pengenaan cukai plastik kemasan telah disetujui oleh berbagai kementerian terkait. Kebijakan tersebut sebagai salah satu upaya pengendalian sampah plastik, selain untuk menambah penerimaan. Namun, belum jelas jenis plastik mana yang akan dikenakan cukai.

Saat ini, kata Bambang, Kementerian Perindustrian telah mengerti dan menyetujui rencana tersebut. Namun, yang menghambat justri stafnya yang masih menolak rencana ini. (Baca: Tanpa Tax Amnesty, Menkeu: Penerimaan Digenjot Seperti Sepeda).

Menteri Bambang Brodjonegoro
(ARIEF KAMALUDIN | KATADATA)

“Menperin sudah mau menerapkan. Cuma bawahannya saja yang kurang edukasi,” kata Bambang saat ditemui di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat pekan lalu.

Komposisi Sampah DKI Jakarta pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Sampah organik 67 Persen
Sampah plastik17 Persen
Sampah tekstil7 Persen
Sampah Kertas6 Persen
Sampah Karet1,5 Persen
Sampah Kaca0,9 Persen
Sampah Logam0,4 Persen
Sampah Lainnya0,2 Persen

Informasi lebih jauh disampaikan anak buahnya. Menurut  Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, pihaknya masih berkoordinasi dengan Kementerian  Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Heru mengklaim, secara prinsip kedua kementerian sudah sepakat, tinggal menentukan detail aturannya.

“Intinya, semua sepakat bahwa barang yang merusak lingkungan bisa diatur dan dikendalikan dengan menggunakan instrumen cukai. Tinggal bagaimana instrumen cukai ini bisa melindungi lingkungan. Dari sisi ekonomi tidak membawa dampak materiil. Itu titik keseimbangan yang harus didapatkan,” ujar Heru di Istana Negara, Kamis pekan lalu.

Heru menambahkan, kebijakan ini dibuat bukan semata-mata ingin mendapatkan tambahan penerimaan negara. Yang paling utama adalah bagaimana pemerintah bisa mengendalikan distribusi dan konsumsi. Terkait dengan cukai plastik, Heru mengatakan pemerintah bisa menggunakannya sekaligus untuk melindungi lingkungan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai

Pasal 2

(1) Undang-Undang Cukai menyatakan barang yang dikenai cukai adalah barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik :

Konsumsinya perlu dikendalikan;

Peredarannya perlu diawasi;

Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau

Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.