Grup Lippo yang Kian Nestapa Akibat Kasus Suap Meikarta

sichon vinuwongsri/123RF
Editor: Yura Syahrul
16/10/2018, 14.45 WIB

Saham emiten properti Grup Lippo ambruk menyusul operasi penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap perizinan proyek Meikarta. Kasus ini jelas menambah tekanan sentimen negatif pada emiten properti Grup Lippo, yang fundamental kinerjanya sedang terkapar.

KPK menetapkan 9 orang tersangka dalam penangkapan yang berlangsung pada Minggu (14/10) tersebut. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengungkapkan, empat orang yang diduga sebagai pemberi adalah Billy Sindoro (Direktur Operasional Grup Lippo), Taryudi (Konsultan Grup Lippo), Fitra Djaja Purnama (Konsultan Lippo), dan Henry Jasmen (Pegawai Grup Lippo).

KPK juga menetapkan lima orang yang diduga sebagai penerima. Mereka adalah Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, Jamaludin (Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kabupaten Bekasi), Sahat MBJ Nahor (Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kab. Bekasi), Dewi Tisnawati (Kepala Dinas Penanaman Modal), dan Neneng Rahmi (Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PU). Mereka diduga menerima suap Rp 7 miliar dari total komitmen Rp 13 miliar.

Suap tersebut diberikan sebagai komitmen fee untuk perizinan Meikarta, megaproyek Grup Lippo yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. Pembangunan kota baru ini akan mencapai luas total 774 hektare. Problemnya, sejak awal, kontroversi perizinan sudah mengganjal pembangunan proyek senilai Rp 278 triliun ini.

Menurut Laode, pemberian suap tersebut untuk memuluskan keluarnya izin dalam 3 tahap. Fase pertama izin untuk lahan seluas 84,6 hektare. Fase kedua untuk 252 hektar. Sementara fase terakhir 101,5 hektare. Seperti lazimnya modus korupsi, suap diberikan melalui penggunaan kode, seperti “melvin”, “tina toon”, “windu", dan “penyanyi”, untuk menyamarkan nama-nama para pejabat di Pemda Bekasi.

(Baca: Bupati Bekasi Tersangka Penerima Suap Proyek Meikarta dari Bos Lippo)

Saham sejumlah perusahaan Grup Lippo yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) langsung berguguran begitu berita penangkapan itu muncul, Senin (15/10). Saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), pengembang proyek Meikarta, merosot 240 poin (14,77%) ke Rp 1.385 setelah dibuka di level Rp 1.625. Sementara saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) juga anjlok 8 poin (2,68%) ke Rp 290.

Pada sesi pertama perdagangan Selasa (16/10, saham LPCK menempati posisi teratas di jajaran saham top loser dengan penurunan 10,47% menjadi Rp 1.240 per saham. Lippo Cikarang merupakan induk dari PT Mahkota Sentosa Utama, pengembang proyek Meikarta. Sementara Saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) juga anjlok 6,21% menjadi Rp 272 per saham.

Kasus ini jelas menambah tekanan sentimen negatif pada emiten properti Grup Lippo. Senin (8/10) lalu misalnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menjatuhkan sanksi terhadap dua emiten perusahaan Lippo tersebut beserta 11 emiten lainnya lantaran belum menyampaikan laporan keuangan teraudit tengah tahun 2018. LPCK dan LPKR mendapat peringatan tertulis I oleh BEI.

Meikarta - Luhut ( ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
 

Sebelumnya, pada 19 September 2018 lalu, lembaga pemeringkat global Moody's Investors Service juga menurunkan rating Lippo Karawaci dari B2 menjadi B3. Ini adalah level terendah peringkat spekulasi tinggi (highly speculative grade) dengan profil risiko kredit yang tinggi. Pemangkasan rating ini menyusul peringatan Moody's sebelumnya yang mengkhawatirkan kinerja operasi dan likuiditas LPKR. Tidak heran, Moody's juga menyematkan outlook negatif untuk LPKR.

"Penurunan peringkat mencerminkan ekspektasi kami bahwa arus kas operasional Lippo Karawaci di tingkat perusahaan induk akan mengalami pelemahan lebih lanjut dalam 12-18 bulan ke depan, serta kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban utangnya akan bergantung pada kemampuannya mengeksekusi aset penjualan, " ujar Jacintha Poh, Wakil Presiden dan Analis Senior Moody's dalam keterangan tertulisnya.

Pada 25 April 2018, Moody's lebih dulu menurunkan peringkat kredit Lippo Karawaci dari B1 menjadi B2 dengan prospek negatif. Lembaga pemeringkat internasional tersebut juga memangkas rating obligasi Theta Capital Pte Ltd, anak usaha sayap bisnis properti Grup Lippo ini, dari B1 menjadi B2, dengan prospek negatif.

(Baca: Bisnis Grup Lippo Terseret Masalah Keuangan Lini Properti)

Pada 11 April lalu, Moody's sudah memperingatkan, sedang mengkaji penurunan rating Lippo Karawaci setelah perusahaan terlambat melaporkan kinerja keuangan 2017 dan gagal memenuhi kewajiban pelaporan khusus dalam penerbitan pinjaman berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS). Likuiditas LPKR juga dinilai mengkhawatirkan.

Moody's melihat, arus kas operasional LPKR di tingkat perusahaan induk akan terus negatif dalam kurun 12-18 bulan ke depan. Perhitungan arus kas total konsolidasi ini tidak termasuk arus kas dari anak usaha PT Siloam International Hospitals (SILO) dan PT Lippo Cikarang (LPCK), namun melingkupi arus kas antarperusahaan seperti dividen dan hasil penjualan aset.

Lemahnya arus kas operasional LPKR ini disebabkan oleh marketing sales yang lemah. Selain itu, ada penurunan biaya asset management dari penjualan Bowsprit Capital Corporation sebagai bagian dari rencana penjualan aset untuk menambah likuiditas.

Pada 18 September lalu, LPKR mengumumkan penjualan sahamnya di Bowsprit ke OUE Limited dan OUE Lippo Healthcare Limited (OUELH). Bowsprit merupakan pengelola aset Dana Investasi Real Estate (DIRE) atau Real Estate Investment Trust (REIT) senilai Sing$ 202 juta atau setara sekitar Rp 2,18 triliun. Sejumlah gedung seperti Life Tower dan Berita Satu Plaza di Jakarta merupakan salah satu asetnya.

OUE mengambilalih 40% saham Bowsprit Capital Corporation Limited senilai Sing$ 99 juta. Sementara anak usaha OUELH, yakni OLH Healthcare Investments Pte Ltd juga mengakuisisi 10,6% kepemilikan First Reit dari Bridgewater International Limited. Bridgewater merupakan anak usaha yang dimiliki secara tak langsung oleh LPKR. Nilai transaksinya Sing$ 103 juta.

(Baca: Tiga Raksasa Properti Terseret Masalah Akibat Terpuruknya Rupiah)

Menurut Ketut Budi Wijaya, Presiden Direktur LPKR, prosesnya diharapkan tuntas pada akhir November 2018. Setelah transaksi itu tuntas, maka kepemilikan LPKR di First REIT akan berkurang menjadi 10,6% dari sebelumnya 28,2%. Adapun likuiditas LPKR akan meningkat dengan penjualan saham tersebut.

Hitungan Moody's, likuiditas Lippo Karawaci akan meningkat sebesar Sing$ 202 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun, jika penjualan tersebut selesai pada November 2018.

Namun, penjualan ini tidak akan mengatasi pelemahan fundamental Lippo Karawaci terkait arus kas operasi. Moody's memperkirakan, penambahan likuditas tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kas perusahaan hingga September 2019. Ini lantaran tingkat cash-burn Lippo Karawaci mencapai sekitar Rp 1,1 triliun sepanjang 2018 dan kemungkinan mencapai Rp 1,3 triliun pada 2019 mendatang.

Meikarta (Arief Kamaludin|KATADATA)
 

Penjualan saham itu juga memiliki konsekuensi turunnya dividen arus kas dari perusahaan investasi real estat yang terdaftar di Singapura lantaran porsi saham yang berkurang pada First REIT. Ada juga tekanan ke kas dari berkurangnya dividen per unit dari Lippo Malls Indonesia Retail Trust.

Masalah lainnya adalah biaya bunga yang lebih tinggi dari utang perusahaan yang berdenominasi dolar AS sebagai akibat dari melemahnya rupiah dan biaya utang yang lebih tinggi. Tak cuma bunganya, jumlah utang yang besar yang besar juga menghadirkan problem.

Soal dampak akibat pelemahan rupiah, lembaga rating internasional Fitch Rating juga sudah memperingatkan, Lippo Karawaci akan menjadi pengembang yang paling rentan terpukul dampak jatuhnya kurs rupiah. Sebab, perusahaan properti milik Grup Lippo ini memiliki pendapatan valas yang sangat kecil.

Selain itu, LPKR memiliki beban pembayaran kupon obligasi yang jauh lebih besar dari kas dolarnya. Situasinya makin suram karena arus kas hasil operasi yang dimiliki Lippo Karawaci terbatas dibandingkan beban pembayaran bunga dan sewa.

(Baca: Empat Korporasi Besar Terbelit Masalah Pelemahan Kurs Rupiah)

LPKR masih memiliki utang senilai sekitar Rp 1,3 triliun meliputi Rp 590 miliar pinjaman ke berbagai bank lokal, juga sisa US$ 50 juta pinjaman sindikasi kepada UBS AG dan Deutsche Bank yang semula jatuh tempo pada September 2018 tetapi diperpanjang hingga April 2019. Karena itu, Moody's berpendapat, LPKR memiliki risiko refinancing karena tidak cukupnya likuiditas untuk mengatasi total utangnya jatuh tempo pada 2018 dan 2019.

Moody's menyematkan outlook negatif karena ada ketidakpastian seputar pelaksanaan penjualan aset LPKR yang dapat mengakibatkan masalah lebih lanjut pada likuiditas perusahaan selama 12-18 bulan ke depan. Persoalannya, perbaikan prospek dan peringkat ini tidak dapat dilakukan selama perusahaan masih bergantung pada penjualan aset untuk melunasi utang-utangnya. 

Penurunan peringkat lebih lanjut, menurut Moody's, tidak terhindarkan jika kondisi arus kas operasional perusahaan terus memburuk, sehinggga likuiditas LPKR terus melemah. Hal ini bisa terjadi jika perusahaan gagal mengeksekusi penjualan aset minimal Rp 2 triliun selama enam bulan ke depan. Penurunan peringkat juga dapat terjadi pada obligasi senior tanpa jaminan LPKR jika risiko utang meningkat pada anak-anak usahanya.

Adapun yang dapat mencegah peringkat perusahaan diturunkan ke level yang lebih rendah lagi adalah meningkatnya bisnis pembangunan properti yang punya potensi dampak pada kenaikan arus kas operasional.

Sebelumnya, dalam keterangan resminya, Vice President Head of Corporate Communication LPKR Danang Kemayan Jati menyatakan, Lippo Karawaci menyayangkan keputusan lembaga pemeringkat rating yang menurunkan peringkat perusahaan. Ini karena fundamental perusahaan sejatinya tidak banyak berubah.

Meski demikian, LPKR berkomitmen untuk bekerjasama dengan para lembaga pemeringkat untuk menanggapi pendapat konstruktif mereka LPKR juga menegaskan berkomitmen untuk memperkuat likuiditas perusahaan serta memperkuat neraca untuk memperoleh kembali peringkat sebelumnya dengan prospek stabil.

Menurut Kepala Riset Koneksi Capital Alfred Nainggolan, emiten sektor properti di pasar saham saat ini masih tertekan, baik secara fundamental kinerja maupun harga saham, termasuk dua emiten properti Lippo tersebut. Dengan adanya tambahan tuduhan kasus korupsi, prospek saham kedua emiten tersebut menjadi kian negatif.

Ia menyarankan, dalam tekanan sentimen negatif yang tinggi, investor kedua emiten sebaiknya melepas kepemilikannya. Pasalnya, ruang penurunan harga saham kedua emiten masih sangat besar ke depan seiring perkembangan pemberitaan tentang kasus tersebut.