Adu Kuat Partai Koalisi Jokowi Berebut Kursi Ketua MPR

Katadata | Arief Kamaludin
Gedung MPR/DPR
Penulis: Ameidyo Daud
24/7/2019, 14.36 WIB

Kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi salah satu posisi yang dianggap vital untuk diraih partai politik (Parpol). Sejumlah parpol koalisi Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hingga Golkar sudah menyatakan diri tertarik untuk menduduki lembaga tertinggi Indonesia itu.

Bahkan, Partai Gerindra juga menyatakan keinginan untuk mendapatkan jatah Ketua MPR. Hal ini seiring wacana koalisi Gerindra dengan pemerintahan Jokowi yang semakin menguat saat ini. "Kursi Ketua MPR memang menjadi sasaran. Namun terkait posisi menteri, Gerindra belum memutuskan akan meminta berapa," kata Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono di Jakarta, Senin (22/7). 

Peminat paling awal tentunya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Cak Imin, panggilan akrabnya, belum lama ini sowan kepada Ma'ruf Amin selaku Wakil Presiden terpilih, demi melancarkan jalannya duduk sebagai Ketua MPR periode 2019-2024. Dia juga sempat mengatakan sudah tak tertarik masuk di jajaran kabinet, lantaran sudah pernah menjabat Menteri Ketenagakerjaan pada 2009-2014. "Gantian biar saya di legislatif," kata Imin beberap waktu lalu. 

(Baca: PDIP Dorong Ahmad Basara Jadi Ketua MPR)

Tentu saja elit parpol pendukung Jokowi lainnya ikut bereaksi. Golkar menjadi yang pertama merespons dengan mengatakan pemilihan pimpinan MPR dilakukan dengan melihat konstelasi kursi yang didapatkan partai saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. 

Dalam Pemilu 2019, Golkar mendapatkan kursi lebih besar dari PKB, dengan perolehan 17,23 juta suara atau 12,31 persen total suara. Sementara PKB tepat berada di bawahnya dengan 13,57 juta suara atau 9,69 persen. "Kita lihat jumlah kursinya saja, di Parlemen kan posisi berdasarkan kursi," kata Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.

Tak ingin kalah, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa juga menyampaikan keinginan partai berlambang Kabah itu memimpin MPR. Dia beralasan koalisi Jokowi-Ma'ruf memerlukan pembenahan kekuatan di legislatif, sehingga masih wajar jika PPP yang mendapat suara parlemen terbuncit tetap punya keinginan itu. "Atau setidak-tidaknya Wakil Ketua MPR," kata Suharso di sela Musyawarah Kerja Nasional PPP pekan lalu. 

(Baca: Golkar Siap Bersaing dengan PKB untuk Perebutkan Kursi Ketua MPR)

Seakan menambah kerumitan, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan membuka kemungkinan kader partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini menjadi Ketua MPR. Bahkan dia memberikan pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya. Saat Demokrat menguasai DPR, Taufik Kiemas yang kader PDIP menjadi Ketua MPR. Saat ini yang terjadi kader partai banteng akan menjadi Ketua DPR, sehingga bisa saja hal yang sama berbalik. "Kami sudah berpengalaman (kolaborasi DPR-MPR) dengan PDIP," kata Syarief dikutip dari Antara.

Ketua MPR Jadi Posisi Penting

Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai wajar apabila parpol saat ini berburu jabatan Ketua MPR. Posisi ini amat prestisius dalam sistem tata negara Indonesia. Apalagi, sulit saat ini bagi parpol mengincar jabatan pimpinan DPR. Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), mengatur hanya parpol pemenang pemilu yang berhak mendapat jatah kursi Ketua DPR. Hal ini membuat jabatan Ketua MPR semakin bergengsi untuk diperebutkan.

Tugas MPR sendiri adalah mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD), melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan Wapres, mengangkat Wakil Presiden menjadi Presiden, hingga memilih Wapres yang diajukan Presiden jika ada kekosongan jabatan Wapres. "Boleh dikatakan secara kelembagaan, ini (MPR) adalah yang tertinggi," kata Emrus kepada Katadata.co.idSelasa (23/7).

(Baca: Incar Kursi Ketua MPR, Cak Imin Minta Bantuan Ma'ruf Amin)

Selain itu jabatan Ketua MPR juga strategis dalam menjaga stabilitas, politik terutama apabila ada tuntutan seperti amandemen UUD 1945 hingga kembali kepada UUD 1945 yang paling awal. Mereka yang duduk di kursi pimpinan akan menjadi tokoh yang penting dalam menghadapi potensi seperti itu. 

Untuk diketahui, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Pertama tahun 1999, kedua tahun 2000, ketiga pada 2001, dan keempat tahun 2002. Salah satu amandemen yang signifikan adalah amandemen pertama, dengan mengubah Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan Presiden maksimal hanya dua periode.

"Saya tidak bisa katakan ada gejala (perubahan amandemen), tapi bisa saja ada yang ingin mengamandemen pasal tertentu. Karena dinamika politik cair," ujarnya. 

(Baca: TKN Batasi Satu Parpol Eks Kubu Prabowo Gabung dengan Koalisi Jokowi)

Muhaimin punya alasan mengapa ia sangat ingin menduduki jabatan Ketua MPR. Dia melihat saat ini ada gelombang ke-Islaman yang perlu diimbangi dengan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hingga Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar kebangsaan ini perlu diperkuat. “Nahdlatul Ulama (NU) memiliki modal itu," ujar Muhaimin yang mengklaim sebagai perwakilan NU.

Menurut Emrus, siapa pun bisa saja memajukan paket calon pimpinan MPR dan tidak ada batas ideal siapa yang berhak menjabat. Namun, ia mengingatkan siapapun yang duduk di kursi Ketua dan Wakil Ketua wajib menjaga konstitusi negara Indonesia. Dia menyarankan saat ini belum perlu lagi ada amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR. "Justru yang dibenahi Undang-Undang yang posisinya di bawah UUD 1945," kata dia. "Kalau salah amandemen bisa bergeser ke hal yang kurang produktif."

(Baca: Arah Kubu Oposisi Pasca Rekonsiliasi Prabowo-Jokowi)