Manuver Prabowo dan Koalisi Super Gemuk Jokowi

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Presiden Joko Widodo (kanan) menyambut kunjungan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Pertemuan ini memberi sinyal Gerindra akan bergabung dalam koalisi pemerintah.
Penulis: Sorta Tobing
15/10/2019, 06.00 WIB

Untuk PAN, sepertinya akan melakukan langkah serupa dengan PKS. Meskipun Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bertemu dengan Jokowi siang kemarin, namun tanda-tanda berkoalisi belum terang betul.

Dalam pertemuan selama setengah jam itu, Zulkifli dan Jokowi lebih banyak membahas soal amendemen UUD 1945. Pembicaraan ini terkait dengan posisi Zulkifli sebelumnya sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Jokowi mengaku belum ada pembicaraan langsung terkait rencana PAN masuk dalam kabinet pemerintahannya atau tidak.  “Belum sampai final, belum rampung,” katanya.

Berbeda dengan kesepakatan Paloh dengan Prabowo, Zulkifli menyebut rekomendasinya kepada Jokowi adalah amendemen UUD 1945 terbatas atau tidak menyeluruh. Pemilihan langsung tidak berubah. Perubahannya hanya filosofis, visi Indonesia 100 tahun.

(Baca: Tiga Fraksi Tolak Amendemen UUD 1945, MPR Buka Aspirasi Publik)

Gerindra Masuk Koalisi?

Keputusan Gerindra masuk dalam koalisi pemerintah atau tidak baru akan final pada 16 Oktober nanti atau saat rapat kerja nasional di Bogor, Jawa Barat. Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengklaim partainya akan mendapat jatah tiga menteri, termasuk menteri pertanian.

Spekulasi kadernya yang berpotensi menjadi pembantu Presiden kemudian muncul di permukaan. Kandidat yang potensial adalah Fadli Zon, Sandiaga Uno, dan Edhy Prabowo.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan Presiden Jokowi akan memprioritaskan alokasi menteri di kabinetnya dari kalangan parpol koalisi. Soal susunannya akan menjadi hak prerogratif Presiden.

“Tapi tentu dalam demokrasi yang sehat, koalisi sebelum dan pasca Pilpres di dalam kabinet itu seharusnya senafas dan sebangun," kata dia.

(Baca: Ketua DPP Gerindra Sebut Kadernya Siap Diminta Jadi Menteri Jokowi)

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, sebanyak 59,2% atau mayoritas responden menyatakan setuju jika Presiden Joko Widodo memberikan kursi menteri kepada partai oposisi. Responden yang tidak setuju, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini, sebesar 33,81%.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai tidak ada urgensinya menarik kalangan oposisi, terutama Gerindra, ke dalam kabinet pemerintahan."Rekonsiliasi itu tidak harus bagi-bagi kekuasaan politik. Tidak harus dapat jatah menteri," katanya beberapa waktu lalu seperti dikutip dari Antara.

Kekuatan oposisi seharusnya menjadi simbol kontrol pemerintah. Kalau akhirnya Gerindra mendapat posisi menteri, Adi mempertanyakan bagaimana penjelasannya ke rakyat. “Semuanya kan jadi seperti dagelan," ujarnya.

Rakyat bisa saja semakin apatis terhadap partai politik dan enggan berpartisipasi dalam pemilu. Rekonsiliasi elite berbasis power sharing alias berbagi kekuasaan tidak menjamin terjadinya hal serupa di level bawah.

(Baca: Ketua NasDem: Tak Masalah Tak Dapat Kursi Menteri, Tetap Kawal Jokowi)

Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam juga menyatakan hal serupa. Ia menyarankan sebaiknya partai politik Gerindra tetap istikamah menjadi oposisi daripada bergabung dengan pemerintahan dan meminta jatah menteri.

Gerindra sejak menjadi oposisi pada 2014, menurut dia, kerap menyampaikan narasi negatif terhadap kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi. Karena itu, langkah Gerindra yang merapat ke pemerintahan justru menunjukkan tingginya oportunisme dan menabrak pakem etika berdemokrasi.

Reporter: Antara