Efek Bola Salju Kasus Jiwasraya ke Industri Asuransi

alphaspirit/123RF
Ilustrasi. Dampak kasus Jiwasraya ke industri asuransi.
Penulis: Sorta Tobing
20/2/2020, 06.00 WIB

Lemahnya Pengawasan Industri Asuransi

Kejaksaan Agung mengungkap kerugian negara dari kasus Jiwasraya bertambah dari prediksi awal Rp 13,7 triliun menjadi Rp 17 triliun. “Tapi (angka) real-nya di hitungan Badan Pemeriksa Keuangan. Akan berkembang terus nanti,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah.

Saat ini BPK masih mengaudit pengelolaan keuangan dan investasi perusahaan asuransi pelat merah itu untuk periode 2008-2018. Kejaksaan juga sudah meminta Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan untuk melakukan penelusuran transaksi mencurigakan, baik dari internal dan eksternal Jiwasraya.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna sebelumnya sempat menyebut perkara Jiwasraya berskala gigantik dan berdampak sistemik ke perekonomian domestik. “Jangan diukur berdasarkan nilai aset saja karena angkanya sangat besar,” ujarnya.

Selain potensi kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah, kasus ini juga melibatkan tujuh juta nasabah dan 17 ribu investor. Dalam audit BPK pada 2016 menyebutkan Jiwasraya menempatkan preminya pada saham yang berkualitas rendah dan risiko tinggi.

Bahkan BPK mendeteksi kejanggalan hubungan antara perusahaan dan manajer investasi dalam pembelian saham-saham itu. Jual-belinya dilakukan dengan pihak berafiliasi.

(Baca: Benny Tjokro dan Saham Gocap di Pusaran Investasi Jiwasraya dan Asabri)

Kejaksaan menyebut ada 13 manajemen investasi yang mengelola portofolio Jiwasraya. Setidaknya 11 perusahaan tersebut telah diperiksa oleh Korps Adhyaksa. Satu orang petinggi telah menjadi tersangka, yaitu Joko Hartono Tirto.

Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna sempat mengatakan tak mengerti mengapa Jiwasraya membeli saham perusahaan yang secara fundamental tidak bagus. Apalagi, perusahaan asuransi yang sudah berdiri 161 tahun itu memiliki manajer investasi. “Mereka dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan pemilihan investasi,” katanya.

Emiten-emiten yang sahamnya dikoleksi Jiwasraya telah acap kali mendapatkan sanksi dari BEI. Semua informasi tersebut pun sudah dimasukkan ke laman keterbukaan informasi di situs Bursa. Seharusnya investor dengan mudah mengakses informasi tersebut.

Direktur Utama KSEI Urip Budhi Prasetyo pun mengakui kejanggalan tersebut. Jiwasraya berinvestasi pada reksa dana yang memiliki underlying saham berkualitas rendah. Beberapa produk investasi itu pun dibuat khusus untuk perusahaan tersebut.

Produknya berjenis open-end, mayoritas dana kelolaan berasal dari Jiwasraya. Padahal, produk reksa dana yang benar seharusnya dimiliki oleh beberapa investor. “Jiwasraya rata-rata di-range 70%-90%,” ucapnya pada pekan lalu.

(Baca: Menggantung Nasib Hari Tua di Jiwasraya karena Embel-embel BUMN )

Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan investasi Jiwasraya mayoritas masuk ke produk reksa dana.

Kasus Jiwasraya membuka lemahnya pengawasan industri keuangan nonbank Indonesia. Badai di industri ini sejak tahun lalu seolah tidak berlalu. Bagai bola salju, rentetan masalah terus muncul, apalagi kemelut ini terjadi berbarengan dengan masalah di perusahaan asuransi lainnya, yaitu Asabri dan Bumiputera.

Tokoh di kasus Jiwasraya dan Asabri (Katadata)

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengakui pengawasan terhadap industri asuransi belum solid, bahkan lebih longgar ketimbang perbankan. Perkembangannya begitu cepat, namun sampai sekarang belum ada reformasi signifikan di industri itu.

Presiden Joko Widodo pun memberi perhatian pada masalah ini. Di hadapan ratusan pimpinan industri keuangan pada 16 Januari lalu, Jokowi mengatakan pemerintah akan mereformasi industri tersebut, baik asuransi dan dana pensiun.

(Baca: Terbelit Jiwasraya, Ada Sekuritas dan Asuransi yang Gagal Bayar?)

Karena itu, OJK akan melakukan perbaikan penerapan manajemen risiko, tata kelola perusahaan, dan laporan kinerja investasi yang transparan untuk perusahaan asuransi. Selain itu, Otoritas juga berencana memberi peringkat kesehatan untuk setiap perusahaan asuransi pada tahun depan.

Pemerintah juga sedang menyiapkan berdirinya Lembaga Penjamin Polis atau LPP. Lembaga ini nantinya bertugas menjaga premi nasabah yang diinvestasikan ke perusahaan asuransi, seperti Lembaga Penjamin Simpanan pada industri perbankan.

Amanat berdirinya lembaga tersebut sudah tercantum pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang asuransi. Pemerintah dan OJK masih melakukan koordinasi. untuk pembentukannya “Persiapannya terus jalan,” ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara beberapa waktu lalu.

Reporter: Ihya Ulum Aldin, Tri Kurnia Yunianto, Fariha Sulmaihati, Antara