Tertekan Ekonomi AS dan Global, RI Diramal Hanya Tumbuh 5,2% pada 2020

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pemandangan gedung gedung bertingkat di Jakarta (30/10/2019). Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2020 diperkirakan akan berada dalam tekanan perlambatan ekonomi Amerika dan ancaman resesi global.
Penulis: Rizky Alika
4/11/2019, 17.18 WIB

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS) akan berdampak ke Indonesia pada 2021. Kepala Kajian Makro LPEM UI Febrio Kacaribu mengatakan, peluang Indonesia untuk tumbuh akan terancam bila perlambatan ekonomi global berlanjut.

Ekonomi AS mulai menunjukkan tanda-tanda resesi yang tercermin dari kurva imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang mengalami kondisi terbalik. Kondisi ini terjadi ketika obligasi bertenor panjang memiliki yield yang lebih rendah dibandingkan obligasi bertenor pendek.

Menurutnya, dampak dari inverted yield curve ke negara berkembang umumnya terjadi setelah 12 bulan. Ini artinya, dampak dari krisis AS terhadap negara berkembang bisa terjadi pada pertengahan 2020. "(Namun) spillover (resesi AS) ke Indonesia paling besar terjadi di 2021, bukan 2020," kata dia di kantornya, Jakarta, Senin (11/4).

(Baca: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2019 Diprediksi Tertahan 5%)

Menurut Febrio, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan tertolong oleh dampak dari penurunan suku bunga acuan. Terlebih lagi, dia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan menurunkan bunga acuannya pada awal 2020. Dengan demikian, suku bunga kredit akan menurun sehingga konsumsi ikut terkerek.

Dengan risiko global dan perlambatan ekonomi AS tersebut, Febrio memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 5-5,1% untuk tahun ini dan 5-5,2% untuk 2020. "Masih ada risiko downward kalau salah menangani kondisi tekanan global," ujar dia.

Selain kondisi eksternal, pelemahan harga komoditas juga turut memberatkan kinerja pertumbuhan ekonomi. Di dalam negeri, sektor manufaktur belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Strategi Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dia berharap pemerintah dapat meningkatkan investasi dan melakukan reformasi struktural. Menurut perhitungannya, investasi harus kembali tumbuh 6% mulai tahun depan agar pertumbuhan ekonomi bisa beranjak dari 5,2%. "Karena tidak mungkin mengandalkan perdagangan di tengah pelemahan global," ujar dia.

(Baca: Bank Dunia Soroti Aturan Upah Tenaga Kerja Hambat Kemudahan Berbisnis)

Sedangkan, reformasi struktural diperlukan untuk memperbaiki tingkat kemudahan berbisnis (ease of doing business/EoDB) sehingga investasi domestik dan asing bisa ditingkatkan. Caranya yaitu antara lain melonggarkan Daftar Negatif Investasi (DNI), memperbaiki iklim usaha, dan memperbaiki Undang-Undang Tenaga Kerja.

Di sisi lain, pemerintah perlu mendorong perjanjian dagang dengan sejumlah negara. Salah satunya, Febrio berharap perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia.

Dari sisi fiskal, Febrio menilai perlunya stimulus pada belanja sosial. Hal ini dinilai efektif untuk mendorong belanja pada masyarakat kelompok bawah. "Tapi tetap mempertimbangkan fiscal prudent," ujar dia.

Febrio pun meyakini, BI dan Menteri Keuangan dapat menghadapi tantangan pertumbuhan ekonomi tersebut. Oleh karena itu, ia juga memperkirakan volatilitas rupiah akan terjaga di kisaran Rp 14.000 - 14.300 per dolar AS pada 2019 dan 2020.

(Baca: Mendag Kebut Penyelesaian 11 Perjanjian Dagang hingga Akhir 2020)

Reporter: Rizky Alika