Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan rancangan pembentukan Lembaga Penjamin Polis (LPP) sudah disiapkan. Saat ini, pemerintah menunggu pengajuan pembahasan draf tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Kalau kajian, naskah akademik, drafting dan lainnya sudah disiapkan," kata Suahasil di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (13/1).
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) terus mempersiapkan kajian pembentukan Lembaga Penjamin Polis tersebut. Namun, Suahasil enggan menyebutkan tenggat waktu penyampaian draf ke DPR.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi mengatakan, pemerintah belum pernah mengusulkan pembahasan pembentukan LPP dengan DPR. "Belum pernah diusulkan," kata dia kepada Katadata.co.id.
(Baca: Nasib Lembaga Penjamin Polis di Tengah Kasus Jiwasraya dan Bumiputera)
Meski begitu, menurutnya pembentukan LPP tersebut penting mengingat adanya kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Namun, ia mempertimbangkan opsi LPP digabung dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Untuk itu, menurut dia perlu ada revisi UU Perasuransian. "Jadi tugas dan tanggung jawab LPS kami perluas," ujar Fathan.
Pembentukan lembaga tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Dalam aturan itu disebutkan, pendirian LPP paling lambat tiga tahun setelah UU tersebut diundangkan pada Oktober 2014 lalu.
Hal itu pun menjadi tanggung jawab pemerintah dan DPR, sebagaimana tercantum dalam UU. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dilibatkan dalam usulan pembentukan lembaga itu.
(Baca: Dongkrak Kepercayaan, Asosiasi Asuransi Dorong Penjaminan Polis)
Nantinya, LPP merupakan lembaga independen. Dengan demikian, LPP tidak menyatu dengan LPS yang bertugas menjamin simpanan perbankan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menyampaikan, ada beberapa tantangan dalam pembentukan LPP. Salah satunya, kebutuhan anggaran untuk modal awal.
Saat mendirikan LPS pada 2004, pemerintah mengalokasikan Rp 4 triliun. Sedangkan anggaran untuk LPP diprediksi lebih besar dibanding LPS.
Selain itu, industri asuransi harus siap membayar pungutan tambahan untuk penjaminan polis. Apalagi saat ini industri asuransi memiliki kewajiban membayar pungutan kepada OJK.
"Yang penting, bagaimana menjaga industri asuransi ini secara sehat, agar tidak timbul 'moral hazard'. Jika pemerintah mengatakan ‘oke’, kami jamin polis asuransi," kata Halim dikutip dari Antara.
(Baca: Meraba Ancaman Sistemik dari Gagal Bayar Asuransi Jiwasraya)