Hadapi Gejolak Dunia, Stiglitz Beri Tiga Solusi untuk Indonesia

ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Anis Efizudin
Ketua OJK Wimboh Santoso (kiri) berbincang dengan Penasehat Senior Bank of England Huw Van Steenis (tengah) dan Profesor Columbia University Joseph Stiglidz (kanan) pada sesi dialog kebijakan tingkat tinggi dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 di Ayana Resort, Jimbaran, Bali, Jumat (12/10). Pada sesi ini mengusung tema Masa Depan Keuangan.
Penulis: Hari Widowati
13/10/2018, 06.51 WIB

Ketidakpastian ekonomi dunia yang disebabkan oleh normalisasi kebijakan suku bunga Amerika Serikat (AS) dan perang dagang antara AS-Tiongkok membuat pasar keuangan Indonesia bergejolak. Untuk menahan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz merekomendasikan tiga hal.

"Indonesia bisa melakukan tiga hal: naikkan suku bunga, membiarkan nilai tukar jatuh sebagaimana adanya tetapi kebijakan ini akan menimbulkan biaya yang besar untuk impor dan lain-lain, kemudian mengelola nilai tukar dengan intervensi ke pasar," kata Stiglitz dalam High Level Dialogue "The Future of Finance" yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan, di Hotel Ayana, Bali, Jumat (12/10).

Stiglitz mengatakan, sulit mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam kondisi saat ini. Argentina dan Turki adalah contoh negara-negara yang paling cepat terdampak pemburukan ekonomi global. Dia mengatakan, negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia memiliki posisi yang lebih baik.

Nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sekitar 12% (year to date) ke level Rp 15.195 per dolar AS di pasar spot. Di Asia, pelemahan rupiah merupakan yang terburuk kedua setelah rupee India yang terdepresiasi 15% sejak awal tahun ini.

Stiglitz mengatakan, kebijakan untuk mengontrol arus modal (capital control) lebih sulit dilakukan. Ia menceritakan pengalaman Chile yang kebanjiran dana asing pasca krisis finansial 2008. Ketika dampak krisis mereda dan pasar keuangan global stabil, dana-dana asing kembali ke negara-negara maju dan meninggalkan negara-negara berkembang, termasuk Chile.

Riset Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan keluarnya arus modal asing dari negara-negara berkembang ini membuat nilai tukar mereka terperosok dan harga aset-aset keuangan jatuh. Beberapa negara merespons hal ini dengan intervensi di pasar valuta asing atau melakukan kontrol arus modal. Bank sentral Chile melakukan intervensi di pasar dengan membeli dolar sejak Januari 2011. Kebijakan ini meredam tekanan terhadap peso Chile meskipun tidak mampu menahan volatilitasnya. 

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pemerintah telah menyiapkan berbagai kebijakan untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan pemerintah melakukan banyak hal. Pemerintah menyiapkan kebijakan untuk mengatasi kebutuhan pangan selain dengan impor, salah satunya dengan teknologi pangan. Begitu pula dengan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), pemerintah merevitalisasi sejumlah kilang minyak dan menerapkan program B20 untuk menurunkan impor BBM. "Dalam jangka pendek, pengelolaan arus modal sangat penting karena kondisi (pasar keuangan) tidak mencerminkan fundamental Indonesia," ujar Wimboh.

(Baca: Faktor Pembeda Pelemahan Rupiah Saat Ini Dibandingkan 1998)

Fintech dan Green Bond

Pada kesempatan tersebut, Wimboh juga mengatakan teknologi finansial (fintech) dan pembiayaan yang berkelanjutan (sustainable financing) akan menjadi solusi bagi industri jasa keuangan di masa depan. OJK telah menerbitkan peraturan mengenai peer to peer lending, Inovasi Keuangan Digital (IKD), dan green bond. Fintech menjadi solusi untuk menjangkau masyarakat di pelosok negeri yang belum mendapatkan akses terhadap layanan keuangan. Sementara itu, green bond menjadi solusi untuk pembiayaan proyek-proyek yang lebih berwawasan lingkungan.

"Regulasi green bond ini baru permulaan, kami yakin potensi pembiayaan dari luar negeri untuk ini sangat besar. Proyek-proyek infrastruktur dan swasta akan eligible untuk green bond," kata Wimboh.

Sementara itu, CEO Climate Bonds Initiative Sean Kidney mengatakan, Indonesia adalah salah satu negara terkuat di dunia yang bisa bertindak untuk menghadapi perubahan iklim, antara lain melalui green bond. "Kuncinya adalah clean energy," kata Kidney.

Sekitar 21% perusahaan di Eropa berinvestasi pada obligasi pemerintah Jerman yang tidak memberikan bunga menarik. "Sebaiknya mereka investasi di (green bond) Indonesia yang punya peluang bagus," ujar Kidney.

(Baca: SMI Terbitkan Obligasi Hijau Pertama di Indonesia Rp 3 Triliun)