Dirut Pertamina Sebut Skenario Terburuk akan Kehilangan Pendapatan 45%

ANTARA FOTO/Reno Esnir
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati (tengah) didampingi Direktur Hulu Dharmawan Samsu (kiri) dan Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko (PIMR) Heru Setiawan (kanan) mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/2/2020).
Editor: Yuliawati
21/4/2020, 16.21 WIB

PT Pertamina (Persero) memproyeksikan skenario terburuk yang dialami perseroan akibat dari tekanan ekonomi imbas pandemi corona atau Covid-19. Perseroan berpotensi kehilangan pendapatan 44,6% dari yang ditetapkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020. Berdasarkan RKAP Pertamina, target laba tahun ini sebesar US$ 2,2 miliar dan pendapatan US$ 58,33 miliar.

Direktur Utama PT Pertamina (persero) Nicke Widyawati menjelaskan Pertamina membuat dua skenario yakni skenario berat dan skenario sangat berat dengan menghitung dampak dari turunnya harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar kurs rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat.

"Total pendapatan kami akan turun pada skenario berat sbesar 38%, dan pada skenario sangat berat menjadi 45%," kata Nicke dalam video conference bersama Komisi VII, Selasa (21/4).

(Baca: Tak Dapat THR, Dirut Pertamina: Kami Tetap Berikan yang Terbaik)

Nicke memaparkan lebih lanjut dua skenario yang dibuat Pertamina. Pertama, skenario berat dengan asumsi ICP US$ 38 per barel dan nilai tukar Rp 17.000 per dolar AS, maka potensi penurunan pendapatan 38,7% dari RKAP.

Skenario ini memproyeksikan penurunan pendapatan di sektor hulu 56,56% dan sektor hilir sebesar 38,42%. Adapun perkiraan penurunan pendapatan dari sektor subholding gas sebesar 13,54% dan sektor finance dan service subs sebesar 39,96%.

Kedua, skenario sangat berat dengan asumsi ICP US$ 31 per barel dan nilai tukar Rp 20.000 per dolar AS, maka potensi penurunan pendapatan yakni 44,6% dari RKAP.

Skenario ini memproyeksikan penurunan pendapatan di sektor hulu sebesar 59,19% dan sektor hilir sebesar 45,85%. Kemudian potensi penurunan pendapatan dari sektor subholding gas sebesar 14,33% dan dari finance dan service subs sebesar 47,01%.

"Cashflow lebih berat karena kami memberikan banyak fasilitas kredit kepada pelanggan. Kami menyadari seluruh pihak kesulitan cashflow jadi kami memberikan keringan kepada pelanggan kami," ujar Nicke.

Penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina pada Maret lalu anjlok 34,6% dibandingkan bulan sebelumnya akibat pandemi virus corona. Penurunan penjualan BBM ini yang terendah sepanjang sejarah Pertamina.

Penurunan permintaan BBM utamanya terjadi di kota-kota besar, seperti di DKI Jakarta yang turun 59%, Bandung turun 57%, dan Makassar 53%. Sementara, permintaan BBM di kota-kota lainnya rata-rata mengalami penurunan di atas 40%.

(Baca: Harga Minyak Anjlok, Pertamina akan Pangkas Investasi Sektor Hulu 30%)

Reporter: Verda Nano Setiawan