Pemerintah tengah mengkaji mekanisme pendanaan bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mendapatkan 10 persen hak kelola (participating interest/PI) suatu wilayah kerja migas. Namun, kontraktor minyak dan gas bumi (migas) merasa keberatan dengan rencana tersebut.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan, pemberian dana talangan kepada pemerintah daerah melalui BUMD tersebut akan memberatkan kontraktor migas. Alasannya, kontraktor harus memberikan pinjaman kepada BUMD selama bertahun-tahun tanpa bunga.

"Apalagi kalau capital yang dibutuhkan sangat besar," kata dia kepada Katadata, Rabu (2/11). (Baca: Pemerintah Minta Kontraktor Migas Talangi Hak Kelola BUMD)

Menurut dia, pemerintah pusat seharusnya mencari solusi agar kebijakan jatah hak kelola 10 persen bagi BUMD itu tidak membebani investor. Apalagi, saat ini keadaan industri migas secara umum tengah kesulitan.

Direktur IPA Sammy Hamzah juga mengeluhkan hal yang sama. Menurut dia, skema pemberian talangan tersebut akan menambah beban investor migas. Ujung-ujungnya, skema itu akan berdampak terhadap nilai keekonomian investasi di blok tersebut.

Meski begitu, dia mendukung keinginan pemerintah agar BUMD berpartisipasi dalam pengelolaan blok migas dengan mendapatkan jatah 10 persen. Dengan begitu, BUMD dapat berperan aktif dalam memperlancar operasi proyek di suatu wilayah kerja migas.

"Lebih baik diserahkan ke pemerintah,  yang penting pemerintah mengakui ada beban tambahan di pihak investor," kata Sammy, yang juga Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo), kepada Katadata.

Di tempat terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, 10 persen hak kelola blok migas memang wajib dimiliki pemda, baik untuk level provinsi atau kabupaten/ kota. Ia mencontohkan, Blok Mahakam yang setelah tahun 2017 akan dikelola oleh PT Pertamina (Persero).

(Baca: Pemda Berpeluang Buyback Saham BUMD Pengelola Blok Migas)

Perusahaan BUMN itu menalangi pendanaan hak kelola 10 persen itu untuk pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Blok-blok migas lain yang tidak dikelola oleh Pertamina, melainkan oleh kontraktor swasta, tetap diminta menalangi pemerintah daerah.

Namun, Jonan tidak mengizinkan pihak swasta meminjamkan dana bagi BUMD untuk membeli 10 persen hak kelola blok migas tersebut. "Saya kira sebaiknya tidak," katanya, Rabu (2/11).

Sebelumnya, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja mengatakan, salah satu opsi pendanaan BUMD berasal dari kontraktor yang ada di blok tersebut. “Share holder  yang ada menalangi dulu,” kata dia, Selasa (1/11). Untuk mendapatkan  10 persen hak kelola tersebut, BUMD juga tidak perlu mengeluarkan sunk cost atau biaya tertanam seperti biaya kegiatan eksplorasi. Jadi, BUMD hanya perlu dana untuk membiayai pembangunan dan operasional.

Pertimbangannya, BUMD memiliki keterbatasan finansial sehingga di awal operasi tidak perlu mengeluarkan dana. Namun, di sisi lain, pemerintah daerah juga berhak menikmati hasil sumber daya alam yang di wilayahnya.

Tapi, tidak semua BUMD bisa mendapatkan hak kelola 10 persen tersebut. Salah satu persyaratannya adalah kepemilikan saham di BUMD. “100 persen harus milik daerah,” ujar Wiratmaja. (Baca: 8 Poin Penting Aturan Jatah Hak Kelola Blok Migas untuk BUMD)

Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Susyanto mengatakan, pemerintah juga saat ini mempersiapkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, sebagai payung hukumnya. Setelah itu akan terbit aturan turunannya berupa Peraturan Menteri ESDM yang ditargetkan selesai akhir tahun ini.

Salah satu cara pendanaan daerah adalah talangan kontraktor yang ada di blok tersebut atau Pertamina. Namun, hal itu harus terlebih dulu dibicarakan dengan para kontraktor.