Regulasi Lemah, Rasio Pajak Minerba Turun Terus Sepanjang 2011-2016

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Perkumpulan Prakarsa bekerjasama dengan Katadata.co.id acara diksusi dengan tema “Lubang-Lubang Bisnis Batubara Bagi Penerimaa Negara” di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat (28/2). Acara tersebut diisi oleh Johnson Pakpahan selaku Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM, Dedi Hartono, Spesialis Penelitian selaku Pengkajian dan Pengembangan KPK, Firdaus Ilyas selaku Peneliti ICW, dan AH Maftuchan, Direktur Perkumpulan Prakarsa.
Editor: Sorta Tobing
28/2/2019, 19.22 WIB

Perkumpulan Prakarsa menilai sejak 2011 sampai 2016 rasio pajak (tax ratio) dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) terus mengalami penurunan. Hal ini karena adanya praktik tambang ilegal dan lemahnya regulasi pemerintah.

"Tax ratio 2011 sebesar 12.09%. Lalu, turun terus sampai 2016 jadi 3,8%," kata Direktur Perkumpulan Prakarsa AH Maftuchan pada acara "Lubang-Lubang Bisnis Batubara bagi Penerimaan Negara" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (28/2). Acara ini merupakan kerja sama antara Katadata.co.id dan Perkumpulan Prakarsa.

Maftuchan mengatakan, berbagai modus dilakukan oleh praktik tambang ilegal. Salah satunya, memakai izin pembangunan rumah alih-alih menambang batu bara. Pihak yang mendapat izin tersebut kemudian menyewa lahan penduduk untuk mengeruk tanah.

(Baca: Ragam Modus Batu Bara Ilegal di Kalimantan Timur)

Selain itu, penyebab turunnya tax ratio minerba juga dipicu perusahaan legal yang melakukan penghindaraan pajak. Jumlah surat pemberitahuan pajak (SPT) yang tidak dilaporkan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 5.523 buah pada 2015. Angka ini lebih banyak daripada yang melapor, hanya 3.580 IUP.

Ia mencontohkan, penghindaran pajak oleh PT Multi Sarana Aviando (MSA) atas perpindahan kuasa pertambangan. Direktorat Jenderal Pajak telah menggungat hal tersebut pada 2007, 2009, dan 2010. Perusahaan melakukan kerja sama dengan perusahaan bernama PT Wielarco Subir Jaya (WSJ) dengan sistem bagi hasil.

(Baca: Jalan Terjal Menangguk Pajak Bahan Galian Hitam)

Kerja sama ini yang memicu Kantor Pelayanan Pajak (KKP) Madya Balikpapan, Kalimantan Timur, melakukan gugatan terhadap MSA. Perusahaan kurang membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 1,5 miliar pada 2007, Rp 2,6 miliar pada 2009, dan Rp 3,6 miliar pada 2010. Namun, hal tersebut dimentahkan oleh hakim pajak.

"Jadi potensinya (tax ratio) agak fantastis. Tapi dengan sangat canggih perusahaan memanfaatkan celah hukum yang ada," kata Maftuchan. (Baca juga: Emas Hitam Mahakam dalam Bidikan KPK)

Katadata.co.id dan lembaga nirlaba Perkumpulan Prakarsa sejak Agustus 2018 melakukan investigasi beragam modus kejahatan tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur. Banyak potensi pajak dan royalti tak bisa negara terima karena praktik lacur tersebut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sudah mengamati ketidakberesan tersebut dari ketidaksinkronan data berbagai instansi pemerintah. Misalnya, pada 2016, menurut data Ditjen Bea Cukai (Kementerian Keuangan), ekspor batu bara mencapai 367 juta ton. Kementerian Perdagangan menyebut angkanya 366 juta ton.

(Baca: Gurihnya Pungutan Liar di Bumi Etam)

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menghitung angkanya 331 juta ton.  Selisih data perdagangan tersebut nilainya mencapai miliaran rupiah.