Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pengusaha Migas Nasional (Aspermigas) Arifin Panigoro meminta pemerintah mengevaluasi penerapan skema gross split. Pasalnya, gross split dianggap tak menarik bagi investor migas.
Jika tak dievaluasi, menurutnya, bakal berdampak pada produksi migas nasional. "Saya kira sistem itu harus dievaluasi, keadaan dunia juga berubah. Kalau diam saja orang tidak akan tertarik. Bagaimana bisa menaikkan produksi?" kata Arifin di Jakarta, Kamis (10/10).
Dia juga menilai skema gross split tidak bisa diterapkan di seluruh lapangan migas Indonesia. Sebab, lapangan migas memiliki karakteristik masing-masing.
"Dari cost recovery ke gross split itu bagaimana, idenya itu simplifikasi, tapi realisasinya lapangan itu kan unik," kata Arifin.
Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak menanggapi pendapat pendiri Medco Group tersebut. Plt Direktur Jenderal Migas Djoko Siswanto tidak menjawab pesan singkat yang dikirimkan Katadata terkait gross split. Begitu pun dengan Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (
Sejak diberlakukan pada 2017 lalu, skema gross split memang menuai kritik dari pelaku industri hulu migas. Pemerintah pun akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 52 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split pada 29 Agustus 2017. Perubahan Permen tersebut muncul setelah adanya masukan dari para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Dengan perubahan aturan tersebut, komponen bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor migas pun berubah. Selengkapnya seperti Databoks di bawah ini :
Menteri ESDM Baru Diharapkan Dukung Perusahaan Migas Nasional
Lebih lanjut Arifin berharap Menteri ESDM mendatang bakal mendukung industri hulu migas nasional. Sehingga dapat memberikan kesempatan perusahaan migas nasional bekerjasama dengan perusahaan internasional dalam kegiatan eksplorasi.
Menteri ESDM yang baru juga diharapkan mendukung kegiatan Enhanced oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi migas. "Kami mau menteri yang pro industri, kami harus tingkatkan EOR," ujarnya.
Selain itu, Menteri baru diharapkan membuat aturan fiskal yang mampu meningkatkan investasi hulu migas. Pasalnya, aturan fiskal saat ini dinilai kurang bagus untuk mendukung iklim investasi migas.
"Kurang fleksibel, kurang ramah, makanya orang pada keluar," kata Arifin.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai fleksibilitas kontrak dengan pendekatan regulatory approach kurang mendukung iklim investasi di Indonesia. Dia menyarankan pemerintah menerapkan sistem kontrak yang lebih pasti seperti royalty and tax.
"Kan kongkritnya royalty and tax, jadi tidak usah di mix lebih bagus. Tidak perlu split khusus, ini yang saya bilang regulatory approach, jangan ditentukan di depan seperti itu," kata Pri.
(Baca: Jonan Harap Perusahaan Migas Agresif Investasi dengan Insentif Pajak)