BKPM: Larangan Ekspor Bijih Nikel Sesuai UU Minerba

ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad
Ilustrasi, seorang pekerja memperlihatkan bijih nikel di smelter feronikel yang dimiliki oleh perusahaan tambang negara Aneka Tambang Tbk di distrik Pomala, Indonesia, 30 Maret 2011.
Penulis: Rizky Alika
9/1/2020, 18.49 WIB

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan pelarangan ekspor bijih nikel (ore) sesuai dengan Undang-undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba). Menurut dia, kebijakan itu dapat memberikan nilai tambah terhadap industri nikel di Indonesia.

"Mengakhiri ekspor ore itu bukan atas dasar semata-mata surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tapi itu UU Minerba yang sudah menyatakan 2014 setop," kata Bahlil di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, hari ini (9/1). 

Pasal 170 menyebutkan, pemurnian di dalam negeri harus dilakukan selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Pertambangan Minerba diundangkan. UU Minerba disahkan pada 12 Januari 2019. Itu artinya, ekspor bijih nikel semestinya disetop pada awal 2014.

Untuk melaksanakan kebijakan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Selain itu, dirilis Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kriteria Peningkatan Nilai Tambah.

(Baca: Kemendag Tegaskan Pelarangan Ekspor Nikel Bukan Retaliasi Dagang)

Berdasarkan Permen tersebut, penjualan mineral mentah ke negara lain bisa dilakukan dalam jangka waktu tiga tahun sejak terbitnya aturan pada 11 Januari 2014. Namun, pemerintah mengubah relaksasi itu.

Bahlil mengatakan, pelarangan ekspor bijih nikel bersifat final. "Itu kekayaan punya kita. Kita kan melakukan hilirisasi," ujar dia.

Ia menyampaikan, hanya bijih nikel yang telah diolah yang bisa diekspor. Hal ini juga sejalan dengan rencana mendorong investasi pabrik baterai lithium untuk kendaraan listrik.

Sebagaimana diketahui, Uni Eropa menggugat Indonesia lantaran melarang ekspor bijih nikel. Namun, Bahlil mengatakan Uni Eropa semestinya membeli produk nikel Indonesia yang sudah jadi, seperti dalam bentuk baterai.

(Baca: Bea Keluar Nikel Melonjak Tajam Setelah Larangan Ekspor Dipercepat)

Pemerintah melarang ekspor bijih nikel mulai Januari 2020. Kebijakan itu sejalan dengan diterbitkannya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Tak terima dengan kebijakan itu, Uni Eropa mengadukan kebijakan Indonesia ke World Trade Organization (WTO) pada November 2019. Komisioner Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom menuding pelarangan ekspor bijih nikel merupakan bagian dari rencana pemerintah mengembangkan industri stainless steel di dalam negeri secara tidak adil.

Hal itu dinilai menciptakan risiko besar bagi sektor baja Uni Eropa. "Terlepas dari upaya bersama kami, Indonesia tetap mempertahankan langkah-langkah ini dan bahkan mengumumkan larangan ekspor baru untuk Januari 2020," kata Cecilia dikutip dari Reuters.

(Baca: Dubes Eropa Sebut Sengketa Nikel Tak Pengaruhi Perundingan Dagang RI)

Reporter: Rizky Alika