Buntut Pengesahkan UU Demokrasi Hong Kong, Tiongkok Ancam Balas AS

ANTARA FOTO/REUTERS/Anushree Fadnavi
Pengunjuk rasa membawa poster dan bendera Amerika Serikat saat reli di Hong Kong, Tiongkok, Minggu (8/9/2019).
Penulis: Ekarina
28/11/2019, 15.35 WIB

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (27/11) waktu setempat menandatangani Undang-Undang (UU) demokrasi di Hong Kong. Aksi ini pun langsung dikecam pemerintah Tiongkok karena dinilai sebagai upaya campur tangan urusan dalam negeri dan mengancam siap mengambil langkah tegas untuk membalas AS.

Dengan disahkannya RUU pro-demokrasi Hong Kong, AS bisa menjatuhkan sanksi bagi para pejabat Tiongkok dan Hong Kong yang diduga melanggar hak asasi manusia (HAM), termasuk larangan visa dan pembekuan aset.

Aturan ini juga mengharuskan Departemen Luar Negeri setiap tahun meninjau status otonomi khusus yang diberikan di wilayah sebagai pertimbangan perdagangan AS guna membantunya mempertahankan posisi sebagai pusat keuangan dunia.

(Baca: Rupiah Melemah Terimbas Aksi Trump Teken UU Hong Kong)

Tiongkok pun bereaksi keras dan mengecam undang-undang itu sebagai bentuk invtervensi dan pelanggaran serius atas hukum internasional. "Tiongkok bahkan menyebut Amerika Serikat sebagai 'tangan hitam besar' di balik kerusuhan di Hong Kong," tulis Reuters dalam laporannya dikutip Kamis, (28/11).

Undang-undang tersebut muncul pada saat Beijing dan Washington beringsut menuju perjanjian fase pertama untuk meredakan perang dagang yang telah berlangsung selama 16 bulan.

Tiongkok bahkan kerap mengisyaratkan ingin menjauhkan masalah Hong Kong dari diskusi perang dagang. Namun pengesahan undang-undang baru ini agaknya bakal memperburuk ketegangan dalam hubungan bilateral kedua negara.

Secara terpisah, beberapa analis mengatakan langkah apa pun untuk mengakhiri perlakuan khusus Hong Kong dapat terbukti merugikan AS. Jika Hong Kong hanya menjadi pelabuhan Tiongkok, ini bisa mempengaruhi negara itu, tetapi juga bisnis AS.

(Baca: Waspadai Perlambatan Ekonomi Global)

Perusahaan yang bergantung pada peran wilayah ini sebagai perantara atau untuk pengiriman, kemungkinan akan merelokasi bisnis mereka ke wilayah lain.

Dari perspektif bisnis, salah satu elemen terpenting dari khusus Hong Kong yakni karena statusnya sebagai zona pabean dan perdagangan yang terpisah dari Tiongkok. Itu berarti, tarif perang dagang yang diberilakukan kedua negara tidak berlaku untuk ekspor dari Hong Kong.

Menurut Departemen Luar Negeri, sebanyak 85.000 warga AS tinggal di Hong Kong pada 2018 dan lebih dari 1.300 perusahaan AS beroperasi di sana, termasuk hampir seluruh perusahaan keuangan utama AS.

Hong Kong juga tercatat sebagai tujuan utama bagi layanan hukum dan akuntansi AS. Nilai perdagangan Hong Kong dan AS diperkirakan mencapai US$ 67,3 miliar pada tahun lalu. Angka ini surplus di pihak AS sebesar US$ 33,8 miliar, atau yang terbesar dengan negara lain, menurut Kantor Perwakilan Perdagangan AS.

Sementara itu, Kamar Dagang Amerika di Hong Kong mengatakan, bahwa apa pun yang mengubah status wilayah akan memiliki efek mengerikan tidak hanya pada perdagangan dan investasi AS di Hong Kong, tetapi akan mengirim sinyal negatif di internasional tentang posisi Hong Kong dalam ekonomi global.