Mayoritas Pengusaha Sepatu Hanya Mampu Bertahan 3 Bulan Tanpa PHK

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nz
Pekerja menyelesaikan produksi alas kaki di Cibaduyut, Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/3/2020). Sekitar 37% pengusaha sepatu diperkirakan hanya dapat bertahan selama 3 bulan tanpa PHK di tengah pandemi Covid-19.
Editor: Ekarina
23/4/2020, 15.02 WIB

Pandemi corona telah memberi pukulan berat terhadap sektor industri alas kaki dalam negeri. Dengan omzet yang tak menentu, mayoritas pengusaha sektor ini diperkirakan hanya mampu mempertahankan bisnisnya tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama tiga bulan. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengatakan, selama wabah Covid-19 berlangsung, omzet bisnis pengusaha alas kaki kini tak menentu. Berdasarkan survei yang dilakukan asosiasi terhadap para anggota menunjukkan, banyak dari kapasitas industri saat ini hanya terpakai 21% hingga 45%.

Adapun pabrik yang masih berproduksi dengan kapasitas sekitar 72% adalah industri sepatu besar dengan jumlah tenaga kerja di atas 5.000 orang. "Industri yang sampai saat ini masih beroperasi penuh adalah industri besar berorientasi ekspor," kata Firman dalam keteragangannya yang diterima katadata.co.id, Kamis (23/4). 

(Baca: Ekspor Turun 70%, Industri Alas Kaki Terancam Tumbuh di Bawah Target)

Namun, beroperasinya pabrik ini pun dikarenakan masih menyelesaikan sisa pesanan sebelumnya. Sedangkan permintaan untuk baru sangat sedikit karena lesunya permintaan pasar  domestik maupun ekspor. 

"Bahkan pada Juni belum ada kepastian apakah masih akan ada order ekspor atau tidak," katanya. 

Lesunya permintaan alas kaki di pasar domestik, menurutya disebabkan oleh pembatasan sosial. Sehingga tak jarang para pemilik brand menunda atau bahkan membatalkan pesanan. Sedangkan lesunya pasar ekspor, disebabkan maraknya kebijakan lockdown atau karantina wilayah yang dilakukan banyak negara.

Akibatnya,  secara umum daya tahan industri untuk mempertahankan karyawan (tanpa PHK) dengan kondisi tanpa pemasukan seperti saat ini hanya sampai  tiga bulan ke depan.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan kepada anggota Aprinsindo, sebanyak 37% perusahaan hanya mampu bertahan selama tiga bulan tanpa PHK. Sedangkan 12% perusahaan mampu bertahan satu tahun, 12% bertahan dua bulan dan sebanyak 13% mampu bertahan empat bulan.

Untuk perusahaan yang mampu bertahan selama enam bulan dan lebih dari enam bulan, masing-masing mendapatkan persentase 13%. "Itu pun belum termasuk dengan kewajiban untuk tunjangan hari raya (THR) pada Idul Fitri," kata dia.

(Baca: Penjualan Lesu, Industri Alas Kaki Terancam PHK 900 Ribu Pekerja)

Firman menjelaskan, hingga saat ini 87% karyawan masih bekerja secara normal. Sedangkan 6% karyawan kontrak tidak diperpanjang kontrak kerjanya. 

Tak hanya itu, sebanyak 6% dari pegawai tetap telah dirumahkan tanpa mendapatkan tunjangan dan gaji. Sementara itu, hanya ada 1% pegawai tetap yang dirumahkan dengan mendapatkan tunjangan.

Adapun besaran selisih jumlah tenaga kerja yang masih bekerja dan yang sudah dirumahkan dipengaruhi karena faktor disparitas ukuran perusahaan. Di antaranya yakni responden yang cukup besar juga antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar yang berorientasi ekapor.

Hal senada sebelumnya dituturkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani. Menurutnya,rata-rata industri hanya mampu bertahan tiga sampai lima bulan dengan kondisi saat ini.

Dia mengatakan, berbagai industri mengalami penurunan tajam permintaan dan pasokan bahan baku. "Ini mereka tiga sampai lima bulan lagi bisa bertahan, tergantung industri masing-masing," kata dia dalam acara peluncuran pusat informasi corona Kumparan, Minggu (19/4).

(Baca: Jokowi Utamakan Stimulus Sektor Riil karena Paling Terpukul Corona)

Dengan kondisi ini, Rosan mengusulkan agar pemerintah menambah anggaran untuk penanganan corona menjadi Rp 1.600 triliun, empat kali lipat dari alokasi saat ini. Dari jumlah tersebut, Rp 600 triliun diusulkan sebagai stimulus bagi industri padat karya, industri strategis, dan UMKM. 

Kemudian, sebanyak Rp 600 triliun digunakan untuk jaring pengaman sosial. Sedangkan Rp 400 triliun sisanya untuk dana kesehatan.

Usulan penambahan anggaran penanganan corona dengan melihat kebijakan anggaran di negara lain. Indonesia baru menganggarkan dana Rp 405,1 triliun atau sebesar 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan banyak negara lain menganggarkan 10%-20% dari PDB.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto