Jutaan Barang Impor Masuk, Ritel Kehilangan Potensi Rp 51,5 T di 2019

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi, warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Jumat (27/12/2019).
Penulis: Rizky Alika
23/1/2020, 14.59 WIB

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan, peritel konvensional kehilangan potensi transaksi US$ 3,75 miliar atau setara Rp 51,5 triliun sepanjang 2019. Hal itu terjadi karena jutaan barang impor konsumsi masuk Indonesia, terutama melalui e-commerce dan media sosial.

“Potensi hilangnya US$ 3,750 miliar, kalau tidak diturunkan batasan bea masuknya. Itu seharusnya bisa dinikmati oleh industri dalam negeri," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani di Menara Kuningan, Jakarta, Kamis (23/1).

Berdasarkan hitungan Hariyadi, semestinya impor e-commerce hanya meningkat 5% per tahun. Namun, ia mencatat transaksinya meningkat tajam sejak 2017 hingga tahun lalu.

(Baca: Impor Barang di Atas Rp 42 Ribu Lewat e-Commerce Bakal Kena Bea Masuk)

Secara rinci, total barang kiriman pada 2017 mencapai 6,1 juta kiriman paket (consignment note). Jumlahnya meningkat 219% menjadi 19,5 juta paket pada 2018. Kemudian naik 197% menjadi 57,9 juta paket tahun lalu.

Menurut Hariyadi, impor melalui e-commerce semestinya hanya 8 juta paket. Alhasil, ada sekitar 50 juta paket yang semestinya bisa dibeli dari industri dalam negeri.

Bila 50 juta paket tersebut dikalikan dengan besaran bea masuk barang impor sebesar US$ 75, maka pengusaha dalam negeri kehilangan potensi US$ 3,75 miliar atau Rp 51,5 triliun.

Karena itu, Hariyadi menilai tingginya transaksi impor barang kiriman itu mengganggu industri dalam negeri, khususnya skala kecil. Untuk itu, ia mendukung perubahan batasan pengenaan bea masuk barang impor dari US$ 75 menjadi US$ 3.

(Baca: Perketat Impor, Bea Cukai Bakal Bisa Intip Data E-Commerce)

Meski begitu, menurut dia aturan itu tidak akan berdampak terhadap pengusaha di Batam. Sebab, seluruh barang dari luar negeri yang masuk ke Batam tidak dikenakan bea masuk dan pajak impor.

Hal itu karena Batam merupakan kawasan bebas pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan cukai.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah sepakat perihal hitung-hitungan potensi transaksi yang hilang tersebut. Menurut dia, ritel offline sulit berkompetisi dengan penjual online.

"Jadi 57 paket yang masuk tahun lalu sangat mengganggu sektor-sektor offline," ujar dia. (Baca: Tekan Impor, Pemerintah Bakal Ubah Batas Bea Masuk Jasa Pengiriman)

Reporter: Rizky Alika